Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ilmu Politik Sebagai Ilmu Pengetahuan (Science)

Ilmu Politik Sebagai Ilmu Pengetahuan (Science)

Adakalanya dipersoalkan apakah ilmu politik merupakan suatu ilmu pengetahuan (science) atau tidak, dan disangsikan apakah ilmu politik memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan. Soal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah yang dinamakan ilmu pengetahuan (science) itu? 

Karakteristik ilmu pengetahuan (science) ialah tantangan untuk menguji hipotesis melalui eksperimen yang dapat dilakukan dalam keadaan terkontrol (controlled circumstances) misalnya laboratorium. Berdasarkan eksperimen-eksperimen itu ilmu-ilmu eksakta dapat menemukan hukum-hukum yang dapat diuji kebenarannya. 

Jika deinisi ini dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmuilmu sosial lainnya belum memenuhi syarat, karena sampai sekarang belum ditemukan hukum-hukum ilmiah seperti itu. 

Mengapa demikian? Oleh karena yang diteliti adalah manusia dan manusia itu adalah makhluk yang kreatif, yang selalu menemukan akal baru yang belum pernah diramalkan dan malahan tidak dapat diramalkan. 

Lagi pula manusia itu sangat kompleks dan perilakunya tidak selalu didasarkan atas pertimbangan rasional dan logis, sehingga mempersukar usaha untuk mengadakan perhitungan serta proyeksi untuk masa depan. Dengan kata lain perilaku manusia tidak dapat diamati dalam keadaan terkontrol. 

Oleh karena itu pada awalnya para sarjana ilmu sosial cenderung untuk merumuskan deinisi yang umum sifatnya, seperti yang terlihat pada pertemuan para sarjana ilmu politik yang diadakan di Paris pada tahun 1948. 

Mereka berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah keseluruhan dari pengetahuan yang terkoordinasi mengenai pokok pemikiran tertentu (the sum of coordinated knowledge relative to a determined subject). 

Apabila perumusan ini dipakai sebagai patokan, maka memang ilmu politik boleh dinamakan suatu ilmu pengetahuan. Akan tetapi pada tahun 1950-an ternyata banyak sarjana ilmu politik sendiri tidak puas dengan perumusan yang luas ini, karena tidak mendorong para ahli untuk mengembangkan metode ilmiah. 

Munculnya pendekatan perilaku (behavioral approach) dalam dekade 1950-an, merupakan gerakan pembaruan yang ingin meningkatkan mutu ilmu politik dan mencari suatu new science of politics. 

Gerakan baru ini, yang dapat disebut sebagai revolusi dalam ilmu politik, merumuskan pokok pemikiran sebagai berikut: Sekalipun perilaku manusia adalah kompleks, tetapi ada pola-pola berulang (recurrent patterns) yang dapat diidentiikasi.

Pola-pola dan keteraturan perilaku ini dapat dibuktikan kebenarannya melalui pengamatan yang teliti dan sistematis. Dengan menggunakan statistik dan matematika dapat dirumuskan hukum-hukum yang bersifat probabilitas.

Akan tetapi pada akhir dekade 1960-an timbul reaksi terhadap pendekatan perilaku. Kali ini kritik datang dari ahli-ahli yang orientasi politiknya kekiri-kirian, seperti Herbert Marcuse dan Jean Paul Sartre. Di antara sarjana behavioralis pun ada yang mendukung alur pemikiran ini. 

Kritik yang dikemukakan ialah bahwa pendekatan perilaku (behavioral approach) terlalu kuantitatif dan abstrak, sehingga tidak mencerminkan realitas sosial. 

Berbeda dengan para behavioralis yang berpendapat bahwa nilai tidak boleh masuk dalam analisis keadaan sosial, kelompok post-behavioralist berpendapat bahwa nilai-nilai boleh masuk dalam analisis keadaan sosial. 

Kelompok pasca-perilaku (post-behavioralist) berpendapat bahwa nilai-nilai harus turut mewarnai penelitian. Nilai-nilai harus diteliti dan para ilmuwan melibatkan diri secara aktif untuk mengatasi masalah-masalah sosial. 

Dalam perkembangan selanjutnya muncul pendapat bahwa pendekatan behavioralis, dalam usaha meneliti perilaku manusia, terlalu meremehkan negara beserta lembaga-lembaganya padahal pentingnya lembaga-lembaga itu tidak dapat dinaikan. 

Aliran baru ini dipelopori antara lain oleh Theda Skocpol yang menjadi tersohor karena tulisannya yang berjudul “Bringing the State Back In: Strategies of Analysis in Current Research." Selain itu pengaruh ilmu ekonomi juga berkembang melalui teori pilihan rasional (rational choice theory). 

Jadi jelaslah bahwa dewasa ini ada keterkaitan yang erat antara ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti antropologi, sosiologi, dan ekonomi. Pendekatan perilaku sendiri muncul dan berkembang dalam masa sesudah Perang Dunia II. 

Gerakan ini terpengaruh oleh karya-karya sarjana sosiologi Max Weber dan Talcott Parsons, di samping penemuan-penemuan baru di bidang psikologi. 

Para sarjana ilmu politik yang terkenal karena pendekatan perilaku politik ini adalah Gabriel A. Almond (structuralfunctional analysis), David Easton (general systems analysis), Karl W. Deutsch (communications theory), David Truman, Robert Dahl, dan sebagainya. 

Salah satu pemikiran pokok dari para pelopor pendekatan perilaku adalah bahwa perilaku politik harus lebih menjadi fokus pengamatan daripada lembagalembaga politik, atau kekuasaan, atau keyakinan politik. 

Dalam suatu sistem politik, sistem menerima inputs bersifat dukungan serta tuntutan dari masyarakat. Inputs ini dalam sistem politik dikonversi menjadi outputs dalam bentuk kebijakan dan peraturan. Hal ini terjadi dalam black box. 

Outputs ini pada gilirannya dikembalikan ke lingkungan dan menjadi inputs baru. Dengan cara ini tercapai keseimbangan (equilibrium) dan stabilitas. 

Akan tetapi yang lebih menonjol lagi ialah penampilan suatu orientasi baru yang mencakup beberapa konsep pokok. Konsep-konsep pokok para behavioralis dapat disimpulkan sebagai berikut: 

  1. Perilaku politik memperlihatkan keteraturan (regularities) yang dapat dirumuskan dalam generalisasi-generalisasi. 
  2. Generalisasi-generalisasi ini pada asasnya harus dapat dibuktikan kebenarannya (veriication) dengan menunjuk pada perilaku yang relevan. 
  3. Untuk mengumpulkan dan menafsirkan data diperlukan teknik-teknik penelitian yang cermat. 
  4. Untuk mencapai kecermatan dalam penelitian diperlukan pengukuran dan kuantiikasi melalui ilmu statistik dan matematika. 
  5. Dalam membuat analisa politik nilai-nilai pribadi si peneliti sedapat mungkin tidak main peranan (value free). 
  6. Penelitian politik mempunyai sifat terbuka terhadap konsep-konsep, teori-teori, dan ilmu sosial lainnya. Dalam proses interaksi dengan ilmuilmu sosial lainnya misalnya dimasukkan istilah baru seperti sistem politik, fungsi, peranan, struktur, budaya politik, dan sosialisasi politik di samping istilah lama seperti negara, kekuasaan, jabatan, instituta, pendapat umum, dan pendidikan kewarganegaraan (citizenship training).
Berkat timbulnya pendekatan perilaku, telah berkembang beberapa macam analisis yang mengajukan rumusan-rumusan baru tentang kedudukan nilai-nilai (value) dalam penelitian politik serta satuan-satuan sosial yang hendak diamati. 

Di antaranya yang terkenal ialah analisa struktural-fungsional (structural­functional analysis) dan pendekatan analisa-sistem (systems analysis approach). 

Kedua analisa yang terakhir tadi erat berhubungan dan pada intinya berpangkal tolak pada meneropong masyarakat dari segi keseluruhan (macro analysis) berdasarkan adanya hubungan erat antara unsur masyarakat yang satu dengan unsur masyarakat lainnya yang akhirnya cenderung untuk mencapai adanya keseimbangan dalam masyarakat. 

Setiap peranan yang terpendam (latent) maupun yang nyata (manifest) dari tiaptiap unsur masyarakat senantiasa berpengaruh secara langsung terhadap unsur-unsur masyarakat lainnya. 

Pendekatan perilaku mempunyai beberapa keuntungan, antara lain memberi kesempatan untuk mempelajari kegiatan dan susunan politik di beberapa negara yang berbeda sejarah perkembangan, latar belakang kebudayaan, serta ideologinya, dengan mempelajari bermacam-macam mekanisme yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu, yang memang merupakan tujuan dari setiap kegiatan politik di mana pun terjadi. 

Dengan demikian Ilmu Politik Perbandingan maju dengan pesat. Sementara itu para pelopor pendekatan tradisional tidak tinggal diam, dan terjadilah polemik yang sengit antara pendekatan perilaku dan pendekatan tradisional. 

Ilmuwan seperti Erick Voegelin, Leo Strauss, dan John Hallowell menyerang pendekatan perilaku dengan argumentasi bahwa pendekatan perilaku terlalu lepas dari nilai dan tidak memberi jawaban atas pertanyaan yang berdasarkan pandangan hidup tertentu seperti misalnya: sistem politik apakah yang paling baik, atau masyarakat bagaimanakah yang sebaiknya dibangun. 

Juga dilontarkan kritik bahwa tidak ada relevansi dengan politik praktis dan menutup mata terhadap masalah-masalah sosial yang ada. Perbedaan antara kaum tradisionalis dan kaum behavioralis dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ilmu Politik Sebagai Ilmu Pengetahuan (Science)
Perbedaan Antara Kaum Tradisionalis dan Behavioralis
Seperti sering terjadi dalam konlik intelektual, kedua belah pihak meningkatkan dan mempertajam alat analisa (tools of analysis) masingmasing untuk meneliti kembali rangka, metode, dan tujuan dari ilmu politik. 

Sekalipun tidak ada pihak yang menang, akan tetapi hasil dari dialog ini sangat mendorong perkembangan ilmu politik itu sendiri, baik di bidang pembinaan teori (theory building) maupun di bidang penelitian komparatif dari negara yang maju dan negara-negara yang sedang berkembang, sehingga dewasa ini perkembangan ilmu politik memberi harapan untuk masa depan. 

Dapat disimpulkan bahwa pendekatan perilaku mempunyai pengaruh yang besar atas ilmu politik dan menduduki tempat terhormat di dalamnya. Pendekatan tradisional tetap memainkan peranan pokok, akan tetapi tidak lagi merupakan pendekatan tunggal yang dominan. 

Dalam hubungan ini perlu disebut timbulnya revolusi pascabehavioralisme. Gerakan ini timbul di Amerika pada pertengahan dekade 1960-an dan mencapai puncaknya pada akhir dekade enam puluhan karena pengaruh berlangsungnya perang Vietnam (1964-1969), kemajuan-kemajuan teknologi antara lain di bidang persenjataan dan masalah diskriminasi ras yang melahirkan gejolak-gejolak sosial secara luas. 

Gerakan protes ini terpengaruh oleh tulisan-tulisan cendekiawan seperti Herbert Marcuse, C.Wright Mills, Jean Paul Sartre, dan banyak mendapat dukungan di kampus berbagai universitas. Reaksi dari kelompok ini berbeda dengan sikap kaum tradisional. 

Yang pertama lebih memandang ke masa depan, sedangkan kelompok kedua lebih memandang ke masa lampau. Reaksi pasca-behavioralisme terutama ditujukan kepada usaha untuk mengubah penelitian dan pendidikan ilmu politik menjadi suatu ilmu pengetahuan yang murni, sesuai dengan pola ilmu eksakta. 

Pokok-pokok reaksi ini dapat diuraikan sebagai berikut: Dalam usaha mengadakan penelitian yang empiris dan kuantitatif, ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan terhadap masalah sosial yang dihadapi, padahal relevansi dianggap lebih penting daripada penelitian yang cermat. 

Karena penelitian terlalu bersifat abstrak, ilmu politik kehilangan kontak dengan realitas-realitas sosial, padahal ilmu politik harus melibatkan diri dalam usaha mengatasi krisis-krisis yang dihadapi manusia. Penelitian mengenai nilai-nilai harus merupakan tugas ilmu politik. 

Para cendekiawan mempunyai tugas historis dan unik untuk melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah-masalah sosial. Pengetahuan membawa tanggung jawab untuk bertindak, harus engage atau commited untuk mencari jalan keluar dari krisis yang dihadapi. 

Kejadian-kejadian ini membuka mata para sarjana ilmu sosial Amerika untuk mempergiat usahanya pada pemecahan masalah-masalah yang dihadapi masyarakatnya. 

Sekalipun gejolak yang serupa tidak terjadi di Indonesia, perkembangan yang terjadi di Amerika itu memberi pelajaran yang penting bagi para sarjana kita tentang kedudukan dan peranan ilmuilmu sosial di negara kita.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Ilmu Politik Sebagai Ilmu Pengetahuan (Science)"

close