Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fungsi Komunikasi Sosial

Fungsi Komunikasi Sosial

Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan. 

Gordon I. Zimmerman et al  merumuskan tujuan komunikasi menjadi dua kategori besar. Pertama, kita berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi kebutuhan kita untuk memberi makan dan pakaian kepada diri-sendiri, memuaskan kepenasaran kita akan lingkungan, dan menikmati hidup. 

Kedua, kita berkomunikasi untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Jadi komunikasi mempunyai fungsi isi, yang melibatkan pertukaran informasi yang kita perlukan untuk menyelesaikan tugas, dan fungsi hubungan yang melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana hubungan kita dengan orang lain. 

Rudolph F. Verderber3 mengemukakan bahwa komunikasi itu mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi sosial, yakni untuk tujuan kesenangan, untuk menunjukkan ikatan dengan orang lain, membangun dan memelihara hubungan. 

Kedua, fungsi pengambilan keputusan, yakni memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada saat tertentu, seperti: apa yang akan kita makan pagi hari, apakah kita akan kuliah atau tidak, bagaimana belajar untuk menghadapi tes. 

Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup diri sendiri yang meliputi: keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi. 

Kedua, untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat. Berikut ini kita akan membahas empat fungsi komunikasi berdasarkan kerangka yang dikemukakan William E. Gorden.

Keempat fungsi tersebut, yakni komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan komunikasi instrumental. 

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi-diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain. 

Implisit dalam fungsi komunikasi sosial ini adalah fungsi komunikasi kultural. Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. 

Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun ikut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Benar kata Edward T. Hall bahwa “budaya adalah komunikasi” dan “komunikasi adalah budaya”.

Alfred Koryzbski menyatakan bahwa kemampuan manusia berkomunikasi menjadikan mereka “pengikat waktu” (time bender). Pengikatan waktu (time binding) merujuk pada kemampuan manusia untuk mewariskan pengetahuan dari generasi ke generasi dan dari budaya ke budaya. 

Manusia tidak perlu memulai setiap generasi sebagai generasi yang baru. Mereka mampu mengambil pengetahuan masa lalu, mengujinya berdasarkan fakta-fakta mutakhir dan meramalkan masa depan. 

Peringatan waktu ini jelas merupakan suatu karakteristik yang membedakan manusia dengan bentuk lain kehidupan. Dengan kemampuan tersebut, manusia mampu mengendalikan dan mengubah lingkungan mereka.

Pembentukan Konsep Diri 

Konsep-diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia lainnya tidak mungkin mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah manusia. 

Kita sadar bahwa kita adalah manusia karena orangorang di sekeliling kita menunjukkan kepada kita lewat perilaku verbal dan nonverbal bahwa kita manusia. Konsep diri kita yang paling dini umumnya dipengaruhi oleh keluarga, dan orang-orang dekat lainnya di sekitar kita, termasuk kerabat. 

Mereka itulah yang disebut significant others. Orang tua kita, atau siapapun yang memelihara kita pertama kalinya, mengatakan kepada kita lewat ucapan dan tindakan mereka bahwa kita baik, bodoh, nakal, cerdas, rajin, ganteng, cantik dan sebagainya. 

Merekalah yang mengajari kita kata-kata pertama. Maka dalam banyak hal, kita adalah “ciptaan” mereka. 

Aspek-aspek konsep diri seperti jenis kelamin, agama, kesukaan, pendidikan, pengalaman, rupa fisik kita, dan sebagainya kita internalisasikan lewat pernyataan (umpan balik) orang lain yang menegaskan aspek-aspek tersebut kepada kita, yang pada gilirannya menuntut kita berperilaku sebagaimana orang lain memandang kita. 

Identitas etnik khususnya merupakan unsur penting konsep diri. Howard F. Stein dan Robert F. Hill menyebutnya inti diri (the core of one’s self),8 sedangkan George De Vos melukiskannya dalam arti sempit sebagai “perasaan kontinuitas dengan masa lalu, perasaan yang dipupuk sebagai bagian penting definisi-diri”.

George Herbert Mead mengatakan setiap manusia mengembangkan konsep-dirinya melalui interaksi dengan orang lain dalam masyarakat dan itu dilakukan lewat komunikasi. Jadi kita mengenal diri kita lewat orang lain, yang menjadi cermin yang memantulkan bayangan kita.

Charles H. Cooley menyebut konsepdiri itu sebagai the looking glass self, yang secara signifikan ditentukan oleh apa yang seseorang pikirkan mengenai pikiran orang lain terhadapnya, jadi menekankan pentingnya respons orang lain diinterpretasikan secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai diri. 

Konsep-diri kita itu tidak pernah terisolasi, melainkan bergantung pada reaksi dan respons dari orang lain. Dalam masa pembentukan konsep-diri itu, kita sering mengujinya, baik secara sadar ataupun tidak sadar. 

Dalam “permainan peran” ini, niat murni kita untuk menciptakan konsep-diri kita mungkin memperoleh dukungan, berubah atau penolakan. Dengan cara ini, interpretasi orang lain mengenai bagaimana kita seharusnya akan membantu menentukan akan menjadi apa kita. 

Dan kita mungkin menjadi sedikit banyak apa yang orang lain harapkan. Kesan yang orang lain miliki tentang diri kita dan cara mereka bereaksi terhadap kita sangat bergantung pada cara kita berkomunikasi dengan mereka, termasuk cara kita berbicara dan cara kita berpakaian. 

Proses umpan balik ini dapat berubah arah. Ketika kita melihat orang lain bereaksi terhadap kita dan kesan yang mereka miliki tentang kita, kita boleh jadi mengubah cara kita berkomunikasi karena reaksi orang lain itu tidak sesuai dengan cara kita memandang diri kita. Jadi citra yang anda miliki tentang diri anda dan citra yang orang lain miliki tentang diri anda berkaitan dalam komunikasi.

Pernyataan Eksistensi Diri 

Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi-diri atau lebih tepat lagi pernyataan eksistensi-diri. Kita dapat memodifikasi frase filosof Prancis Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal itu Cogito Ergo Sum (“Saya berpikir, maka saya ada”) menjadi “Saya berbicara, maka saya ada”. 

Jika kita berdiam diri, orang lain memperlakukan kita seolah-olah kita tidak eksis. Namun ketika kita berbicara, kita sebenarnya menyatakan bahwa kita ada. Fungsi komunikasi sebagai eksistensi diri-terlihat jelas misalnya pada uraian pada penanya dalam seminar. 

Meskipun mereka sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan langsung pada pokok masalah, penanya atau komentator itu sering berbicara panjanglebar, mengkuliahi hadirin, dengan argumen-argumen yang terkadang tidak relevan. 

Kelangsungan Hidup, Memupuk Hubungan dan Memperoleh Kebahagiaan

Komunikasi, dalam bentuk apapun, adalah bentuk dasar adaptasi terhadap lingkungan. Menurut Rene Spitz, komunikasi (ujaran) adalah jembatan antara bagian luar dan bagian dalam kepribadian:”Mulut sebagai rongga utama adalah jembatan antara persepsi dalam dan persepsi luar; ia adalah tempat lahir semua persepsi luar dan model dasarnya; ia adalah tempat transisi bagi perkembangan aktivitas intensional, bagi munculnya kemauan dari kepasifan”.

Perilaku komunikasi pertama yang dipelajari manusia berasal dari sentuhan orang tua sebagai respons atas upaya bayi untuk memenuhi kebutuhannya. 

Orang tua menentukan upaya mana yang akan diberi imbalan, dan anak akan belajar merangsang dorongan itu dengan menciptakan perilaku mulut yang memuaskan si pembelai. Dengan kata lain, si anak membalas belaian orangtuanya. 

Anak cepat beradaptasi dengan ibunya sendiri. Berdasarkan respons anak yang berulang, sang ibu akhirnya dapat membedakan suara anaknya, apakah sang anak marah, sakit, lapar, kesepian, atau sekedar bosan. Pesanpesan ini sulit dipahami oleh orang yang bukan ibunya.

Komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi dilakukan untuk pemenuhan-diri, untuk merasa terhibur, nyaman dan tentram dengan diri sendiri dan juga orang lain. Dua orang dapat berbicara berjam-jam, dengan topik yang berganti-ganti, tanpa mencapai tujuan yang ditetapkan sebelumnya. 

Pesan-pesan yang mereka pertukarkan mungkin hal-hal yang remeh, namun pembicaraan tersebut membuat mereka senang. Para psikolog menunjukkan kepada kita bahwa perilaku manusia itu dimotivasi oleh kebutuhan untuk menjaga keseimbangan emosional atau mengurangi ketegangan internal dan rasa frustasi. 

Tahun 1957, J.D French melaporkan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa kelangkaan rangsangan emosional dan sensoris menimbulkan kemunduran pada struktur otak manusia, yang pada gilirannya mengakibatkan kekurangan gizi, dan akhirnya dapat berujung pada kematian. 

Eric Berne mengembangkan suatu teori hubungan sosial yang ia sebut Transactional analysis (1961). Teorinya berdasarkan hasil penelitian mengenai keterlantaran indrawi (sensory deprivation) yang menunjukkan bahwa bayi-bayi yang kekurangan belaian dan hubungan manusiawi yang normal menunjukkan tandatanda kemerosotan fisik dan mental yang bisa berakibat fatal. 

Ia menyimpulkan bahwa sentuhan emosional dan indrawi itu penting bagi kelangsungan hidup manusia. Ia menyimpulkan teorinya dengan ungkapan bahwa “If you are not stroked, your spinal cord will shrivel up” (jika engkau tidak mendapatkan belaian, urat saraf tulang belakangmu akan layu).

Menurut Berne dalam bukunya games people play (1964), belaian (stroke) adalah istilah umum untuk kontak fisik yang intim yang praktiknya dapat mengambil berbagai bentuk. Sebagian orang secara harfiyah membelai seorang bayi; sebagian lagi memeluknya atau menepuknya, sementara lainnya lagi mencubitnya atau menyentuhnya dengan ujung jari. 

Semua ini punya analoginya dalam percakapan, sehingga tampaknya orang meramalkan bagaimana seorang individu akan memperlakukan bayi dengan mendengarkan suara berbicara. Dalam arti luas, belaian mengisyaratkan pengakuan atas kehadiran orang lain. Karena itu, belaian dapat digunakan sebagai unit dasar tindakan sosial.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Fungsi Komunikasi Sosial"

close