Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apa itu Psikologi Politik?

Apa itu Psikologi Politik

Ilmu politik memusatkan tinjauannya kepada masalah kekuasaan dan bagaimana jalannya tenaga kekuasaan dalam masyarakat dan susunan negara, ilmu politik dengan sendirinya membahas dan mempersoalkan pembinaan negara dan masyarakat atau kekuasaan. 

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat dikemukakan bahwa Ilmu politik adalah cabang ilmu sosial yang mempelajari: 

  1. Teori dan praktik politik, 
  2. Deskripsi dan analisa sistem politik, dan 
  3. Perilaku politik 

Psikologi Politik (Political behavior), merupakan sub disiplin ilmu yang cukup baru di Indonesia Ilmu yang mencoba menjelaskan perilaku politik individu pelaku politik, yang sangat mementingkan faktor sosial (konteks) dimana perilaku itu terjadi. 

Psikologi politik merupakan sebuah ilmu yang mampu menjelaskan gejala dan fenomena politik Psikologi politik berkeyakinan perilaku politik para pelaku politik sangat mempengaruhi perjalanan dan perkembangan sebuah negara. 

Maka psikologi (politik) adalah ilmu yang mengkaji Pengaruh suatu hasil keputusan dalam kebijaksanaan politik dan kenegaraan dengan memperhatikan sikap, perilaku dan tindakan-tindakan sosial pelaku politik, pemerintah dan masyarakatnya itu sendiri. 

Antara psikologi dan ilmu politik sama-sama mempelajari tingkah laku manusia. Terkadang, seseorang membuat pemisahan secara sadar antara peranan dan “kedirian” (self), sehingga konflik dapat diminimalisir karena menambahkan aspek kedirian tersebut pada peran yang dijalankannya. 

Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang harus mereka perbuat. 

Secara tidak langsung individu ingin mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu. Contoh: PNS yang Korup => Akh, Sistemnya memang sudah seperti itu, jadi jangan anggap PNS itu brengsek/tukang korup. 

Peran Pemimpin atau Partai? 

Dalam situasi politik Indonesia, setelah SBY, kita tidak memiliki figur/tokoh yang kuat. Ditambah dengan buruknya kualitas pelaku politik yang mencoreng partainya sendiri. Sehingga peran partai masih kalah dengan peran tokoh/figur itu sendiri. 

Padahal, idealnya seorang tokoh/sosok tidak boleh lebih besar dari pada partai itu sendiri. Oleh karena itu, ‘diakali’ dengan sistem koalisi atau memadukan beberapa sosok untuk memperkuat imej partai. 

Untuk memperkuat imej diri dan partai, seorang tokoh sering menyamakan dirinya dengan sosok/figur besar dari masa lalu. Agar membuat massa atau simpatisannya percaya dan yakin akan pengaruh dari tokoh tersebut. Hal tsb menjadi sangat lumrah dilakukan di Indonesia.

Perilaku Memilih di Indonesia 

Kekerasan, isu SARA, politik uang, chauvinisme, separatisme merupakan isu yang masih digunakan di Indonesia. Cara tersebut sudah ditinggalkan oleh negara-negara maju di era tahun 1960an. 2014 merupakan pemilu dengan tingkat keterlibatan masy terbesar dalam sepanjang sejarah. 

Banyak masy yang dulunya Golput beralih menjadi pemilih. Jokowi VS Prabowo? (53%-47%). Setelah era orde baru, Akibat rendahnya daya tarik dari para sosok, maka masy menginginkan ‘dampak langsung’ agar mereka memilih sosok tsb. 

Berkembanglah politik uang. Rendahnya pengawasan serta sistem yang selalu berubah-ubah juga membuat seorang pemilih mampu memilih lebih dari 2x. Bagaimana dengan sistem noken?

Wajah Politik Kita: Skizofrenia Sosial 

Kita sering merasa kesal dan marah melihat pelaku para elit politik yang menurut kita ‘plin-plan’. Membuat masy bingung dengan sikap dan perilaku para tokoh politik. Ada pertentangan antara diri pribadi (private self) dengan diri publik (public self). 

Demi sebuah tujuan (kepentingan politik) para elit politik sering berprilaku berbeda saat tampil di publik. Jika hal tsb selalu terjadi, maka dalam psikologi politik, hal tsb dikatakan sebagai schizofrenia sosial. 

Karena sso memiliki kepribadian yang selalu berubah/split antara di setting privat dan setting massa. Jika hal ini terus berlangsung dan tidak diobati, maka masy pun akan tertular menjadi seperti perilaku para pemimpinnya. 

Psychopatology and politic? Terkadang, seseorang membuat pemisahan secara sadar antara peranan dan “kedirian” (self), sehingga konflik dapat diminimalisir karena menambahkan aspek kedirian tersebut pada peran yang dijalankannya. 

Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang harus mereka perbuat. 

Secara tidak langsung individu ingin mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu. Contoh: PNS yang Korup => Akh, Sistemnya memang sudah seperti itu, jadi jangan anggap PNS itu brengsek/tukang korup.

Ilusi Pemimpin Besar 

Perbuluh puluh tahun, orang selalu beranggapan bahwa pemimpin itu adalah semacam satrio piningit, raja agung, ksatria atau semacam pangeran, Ratu Adil (Mesias) yang sengaja diutus Tuhan menyelesaikan masalah keseharian kita di dunia ini. 

Harapan akan lahirnya pemimpin besar selalu disematkan dalam kesadaran kolektif kita. Alhasil, di setiap kemunculan pemimpin besar pada umumnya selalu disertai dengan keyakinan dan mitologisasi terhadap pemimpin tersebut dalam pelbagai macam atribut: baik fisik, ucapan, maupun perilaku, Cth: Soekarno, SBY, Prabowo Studi awal tentang kepemimpinan mempelajari sifat-sifat yang dianggap dimiliki orang-orang besar atau pemimpin besar: Traits of the great leader. 

Sejarawan Thomas Carlyle (1840) adalah tokoh pertama yang melontarkan pendapat ”pemimpin . Teori ini juga memasukkan dalam kelompok ini pemimpin karismatik, yaitu orang-orang dengan kualitas khusus yang berbeda dari orang kebanyakan. 

Namun, para peneliti psikologi politik membantahnya; pemimpin dibentuk masyarakatnya, pemimpin harus dicintai rakyatnya, bukan muncul akibat ketakutan yang diciptakan oleh pemimpin tersebut Psikolog politik menemukan bukti bahwa, tokoh yg selalu menjaga-membangun kharisma dipublik ternyata dilatarbelakangi gangguan kepribadian seperti grandiosity (merasa orang besar), narsisistik, over-ambitious,arogan, kontrol emosional yang rendah. 

Beberapa tokoh malah dilengkapi juga dengan kecenderungan psikotik lain, seperti paranoid dan gangguan emosi bipolar (manic-depressif). 

Padahal pemimpin yang merakyat harus sadar bahwa besar karena dicintai rakyatnya, bukan dengan perlu membombardir rakyatnya dengan retorika-retorika besar tetapi tidak realistik. 

Rakyat akan meninggikan pemimpin yang rendah hati, bukan pemimpin yang meninggikan dirinya Terkadang, seseorang membuat pemisahan secara sadar antara peranan dan “kedirian” (self), sehingga konflik dapat diminimalisir karena menambahkan aspek kedirian tersebut pada peran yang dijalankannya. 

Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang harus mereka perbuat. 

Secara tidak langsung individu ingin mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu. Contoh: PNS yang Korup => Akh, Sistemnya memang sudah seperti itu, jadi jangan anggap PNS itu brengsek/tukang korup. 

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Apa itu Psikologi Politik?"

close