Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kegunaan Etnografi Dalam Masyarakat

Kegunaan Etnografi Dalam Masyarakat

Keberagaman manusia dalam hal kepercayaan, nilai yang dianut, pola perkawinan, konsumsi makanan, dan cara mengasuh anak diciptakan oleh kebudayaan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Etnografi sebagai tulisan atau deskripsi mengenai kebudayaan manusia memiliki beberapa peran penting, terutama untuk memahami rumpun manusia terkait dengan keberagaman manusia. 

Beberapa penelitian etnografi juga memiliki relevansi praktis yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang ada dalam masyarakat, membantu memperjuangkan masyarakat, maupun membantu pemerintah dalam pemecahan masalah. Berikut ini kegunaan etnografi dalam masyarakat: 

a. Memahami Kompleksitas Permasalahan Masyarakat 

Manusia memiliki budaya yang sangat beragam. Individu yang hidup dalam masyarakat modern dan kompleks sebenarnya hidup dengan banyak kode budaya yang berbeda (Spradley, 1979a). Etnografi sebagai metode penelitian memegang peranan penting dalam memahami masyarakat dengan latar belakang, pola budaya, dan nilai-nilai budaya yang beragam serta kehidupan yang kompleks. 

Melalui etnografi, kita dapat melihat berbagai perbedaan budaya ini dan menunjukkan bagaimana masyarakat dengan perspektif yang beragam dapat berinteraksi. Kalian sebagai seorang antropolog atau yang belajar ilmu antropologi tentunya mempunyai bekal dalam melihat kompleksitas permasalahan yang ada di masyarakat. 

Misalnya dalam melihat masalah kemiskinan, seorang antropolog secara tidak langsung dapat menyimpulkan akar permasalahan kemiskinan di masyarakat atau komunitas, sebagaimana yang dilakukan oleh antropolog Robert Chambers (1983). 

Setelah tinggal cukup lama di pedesaan dan berinteraksi dengan masyarakat, Chambers menyimpulkan bahwa kemiskinan di pedesaan bersifat multidimensi yang kemudian membentuk apa yang disebutnya sebagai “perangkap kemiskinan”. 

Dimensi kemiskinan tersebut antara lain adalah kerentanan, kelemahan jasmani, ketidakberdayaan, dan isolasi wilayah. 

Oleh sebab itu, antropologi memiliki keunggulan yakni menawarkan pendekatan yang holistik, deskripsi mendalam, dan berangkat dari sudut pandang masyarakat pemilik kebudayaan dalam melihat kompleksitas masalah. 

b. Memahami Perilaku Manusia 

Perilaku manusia memiliki berbagai makna yang turut dipengaruhi oleh latar belakang budaya tertentu. Etnografi menawarkan cara untuk memahami makna tersebut secara empiris. 

Etnografi bertujuan untuk menangkap sudut pandang masyarakat pemilik kebudayaan mengenai dunianya sehingga memudahkan dalam menjelaskan mengenai perilaku manusia yang dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kebudayaan yang dianutnya. 

Dalam memahami perilaku manusia pada masyarakat lokal, seorang etnografer tentunya tidak dapat menggunakan pemikirannya sendiri. Seorang etnografer harus menggunakan pendekatan native poin of view atau menangkap sudut pandang masyarakat pemilik kebudayaan. 

Misalnya, seperti yang dilakukan oleh Mead dan Bateson saat meneliti perilaku masyarakat Bali. Mereka merekam sebuah adegan perilaku masyarakat Bali dengan mengambil foto, gambar, video, maupun mencatatnya. 

Dalam film “Trance and Dance in Bali” (1952) mereka mengamati para pemuda dna pemidi Bali yang sedang menari lalu kerasukan. Sebagai seorang etnografer tentunya kita tidak bisa langsung menyimpulkan kejadian tersebut, tetapi harus melihat dari sudut pandang orang asli/setempat yang dalam hal ini sebagai pemilik kebudayaan. 

c. Memahami dan Menghadapi Permasalahan Lingkungan Hidup 

Selain bermanfaat dalam memahami perilaku manusia dan kebudayaan manusia yang kompleks dan beragam, etnografi juga bermanfaat dalam memahami permasalahan lingkungan hidup. Studi etnografi dapat memahami bagaimana cara suatu kelompok masyarakat dalam memaknai ekologi dan cara mereka hidup selaras dengan lingkungan sosial dan alam sekitarnya. 

Beberapa masyarakat adat hidup dekat dengan alam dan memiliki nilai-nilai terkait pelestarian alam sekitar. Etnografi dapat membantu mengungkap nilai-nilai masyarakat dengan memahami bagaimana masyarakat hidup selaras dengan alam sekitarnya dan beradaptasi terhadap lingkungan tersebut. 

Cabang etnografi yang berfokus untuk mempelajari tentang hubungan manusia dengan lingkungan alam, cara masyarakat memanfaatkan alam, dan keselarasan hidup sosial masyarakat dengan lingkungan alam disebut dengan etnoekologi. 

Etnoekologi dicetuskan oleh Harold Conklin pada tahun 1954 dari studi yang dilakukannya untuk mempelajari masyarakat Hanunoo di Filipina. 

Menurut Ahimsa & Putra (1988) dalam Brata (2008), studi-studi antropologi pada tahun 1960-an dipengaruhi oleh studi ekologi budaya yang dilakukan oleh JulianSteward (Brata, 2008). 

Melalui etnoekologi, etnografer dapat mengetahui keseluruhan pengetahuan ekologi suatu kelompok masyarakat yang meliputi aspek pengetahuan lokal masyarakat mengenai lingkungan dan alam sekitarnya, persepsi dan konsepsi terhadap lingkungan, permasalahan lingkungan, strategi adaptasi, dan pengelolaan sumber daya alam sekitarnya. 

Dengan memahami pengetahuan ekologi masyarakat, etnografi dapat pula membantu pemerintah dalam menetapkan kebijakan lingkungan hidup yang selaras dengan permasalahan lingkungan hidup yang ada di masyarakat. 

Salah satu contoh karya etnografi lingkungan adalah Friction: An Ethnography of Global Connection (2005) oleh karya Anna L. Tsing, antropolog asal Amerika Serikat. Tsing melakukan studi etnografi pada masyarakat Dayak, tepatnya penduduk asli Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, yang mengalami proses globalisasi. 

Selama beberapa tahun, Tsing melakukan penelitian lapangan dengan mengunjungi dan berteman secara langsung dengan masyarakat Dayak untuk mengungkap dampak pembukaan hutan dari sudut pandang masyarakat. 

Penelitian Tsing berkaitan dengan proses globalisasi yang tidak hanya dilihat sebagai proses satu arah dari negara maju terhadap negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga melihat bahwa globalisasi tidak akan berkembang luas jika tidak ada keterlibatan lokal. 

Tsing mempelajari tentang proses bagaimana perusahaan yang bekerja sama dengan pengusaha lokal melakukan pembukaan dan pembentukan ulang lahan hutan hujan tropis menjadi area industri di Kalimantan Selatan pada tahun 1980-1990-an. 

Melalui buku ini, Tsing memperkenalkan konsep friksi yang menjelaskan bagaimana proses globalisasi bekerja di suatu tempat dalam kehidupan keseharian masyarakat. 

Penelitian Tsing berfokus pada isu lingkungan dalam konteks globalisasi, untuk melihat hubungan global, regional, dan lokal yang saling berkaitan. 

Wacana pembangunan hutan hujan tropis tersebut melibatkan gerakan pecinta lingkungan dari lokal hingga nasional, ilmuwan internasional, praktik investasi yang melibatkan korporasi global, PBB, kelompok lainnya, hingga gerakan prodemokrasi. 

Tsing menggambarkan bagaimana masyarakat lokal tidak menolak globalisasi sepenuhnya, tetapi juga tidak menerimanya begitu saja sebagai sebuah hegemoni. Mereka memodifikasi dan memanfaatkannya sesuai kepentingan yang dapat menguntungkan mereka. 

Sebagai karya etnografi, buku Friction ini juga memberikan sumbangan bagi isu-isu kehutanan di Indonesia. Tsing juga menawarkan etnografi koneksi global, menekankan pada jalan berpikir mengenai sejarah dari proyek sosial yang melibatkan bisnis dan pemberdayaan lokal. 

Sebagai pelajar Pancasila, kalian juga harus bersikap kritis terhadap kondisi lingkungan hidup dan alam sekitar kalian. 

Dengan menerapkan prinsip-prinsip etnografi untuk mengamati hubungan kehidupan masyarakat sekitar dengan lingkungan alam sekitar yang saling memengaruhi, kalian dapat melihat persoalan lingkungan di sekitar kalian secara kritis.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Kegunaan Etnografi Dalam Masyarakat"

close