Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peran Ilmu Antropologi dalam Memahami Multikulturalisme di Indonesia

Peran Ilmu Antropologi dalam Memahami Multikulturalisme di Indonesia

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang dapat dibedakan secara horizontal maupun secara vertikal. Secara horizontal, masyarakat Indonesia ditandai dengan keragaman ras, agama, suku bangsa, dan golongan. 

Secara vertikal ditandai dengan perbedaan akses terhadap sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik. Perbedaan tersebut berpengaruh pada sistem kepercayaan, perilaku, nilai maupun pandangan hidup. Tidak mengherankan, Indonesia merupakan salah satu negara multikultur terbesar di dunia.

a. Teori Keberagaman dalam Melihat Indonesia sebagai Masya rakat Multikultural 

1) Menurut Clifford Geertz 

Menurut Clifford Geertz (1983), aneka ragam budaya yang berkembang di Indonesia dapat dibagi menjadi dua tipe berdasarkan ekosistemnya, antara lain: 

a) Kebudayaan Indonesia Dalam 

Kebudayaan yang berkembang di Indonesia Dalam, yaitu daerah Jawa dan Bali ini, ditandai oleh tingginya intensitas pengolahan tanah secara teratur dan telah menggunakan sistem pengairan dan menghasilkan padi yang ditanam di sawah. 

Dengan demikian, kebudayaan di Jawa dan Bali yang menggunakan tenaga kerja manusia dalam jumlah besar disertai peralatan yang relatif lebih kompleks merupakan perwujudan upaya manusia mengubah ekosistemnya untuk kepentingan masyarakat. 

b) Kebudayaan Indonesia Luar 

Kebudayaan yang berkembang di Indonesia Luar, yaitu di luar Pulau Jawa dan Bali, kecuali di sekitar Danau Toba, dataran tinggi Sumatra Barat, dan Sulawesi Barat Daya yang berkembang atas dasar pertanian perladangan. 

Ekosistem di daerah ini ditandai dengan jarangnya penduduk yang pada umumnya baru beranjak dari kebiasaan hidup berburu ke arah hidup bertani. 

Oleh karena itu, mereka cenderung untuk menyesuaikan diri mereka dengan ekosistem yang ada sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat mereka melakukan migrasi ke daerah lain. 

Sistem kebudayaan masyarakat yang berkembang di daerah ini adalah kebudayaan masyarakat pantai yang diwarnai kebudayaan alam pesisir, kebudayaan masyarakat peladang, dan kehidupan masyarakat berburu yang masih sering berpindah tempat.

2) Menurut Bruner 

Menurut Bruner (1974), struktur masyarakat majemuk di Indonesia menunjukkan adanya kebudayaan dominan yang disebabkan oleh dua hal, yaitu: 

a) Faktor Demografis 

Di Indonesia, kesenjangan jumlah penduduk yang sangat timpang terjadi antara Pulau Jawa dan luar Jawa. Meskipun luas, Pulau Jawa hanya 8 persen dari seluruh wilayah Indonesia. Sekitar 70 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa sehingga secara demografis penduduk Pulau Jawa lebih dominan. 

b) Faktor Politis 

Dengan jumlah penduduk yang terkonsentrasi di Jawa dan sistem kekuasaan yang terpusat di ibukota Jakarta membuat banyak kebijakan pemerintah juga cenderung dianggap berorientasi pusat dan banyak mengabaikan kepentingan masyarakat daerah (lokal). 

Hal ini acapkali menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. Kegagalan mengartikulasikan kepentingan politik lokal dan tersumbatnya komunikasi politik tak jarang juga menyebabkan terjadinya ketegangan sosial antar etnis. 

Dengan struktur sosial yang bersifat majemuk, maka masyarakat Indonesia selalu menghadapi permasalahan konflik etnik, diskriminasi sosial, dan terjadinya disintegrasi masyarakat. Diferensiasi sosial yang melingkupi struktur sosial kemajemukan masyarakat Indonesia, antara lain sebagai berikut: 
  • Diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan adat istiadat yang timbul karena perbedaan etnik, budaya, agama, dan bahasa. 
  • Diferensiasi struktural yang disebabkan oleh perbedaan kemampuan untuk mengakses sumber ekonomi dan politik antar etnis sehingga menyebabkan kesenjangan sosial antara etnik yang berbeda dalam masyarakat.

b. Dampak Multikulturalisme di Indonesia 

Gejala sosial tidak terlihat secara nyata di permukaan dalam kehidupan sehari-hari tetapi bersemayam di dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia yang dapat dilihat melalui keragaman suku bangsa. Hal ini pula yang sering menimbulkan potensi konflik di daerah. 

Suku bangsa adalah golongan sosial yang dibedakan dari golongan sosial lainnya karena mempunyai ciri-ciri paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal usul dan tempat asal serta kebudayaanya. Adapun ciri-ciri suku bangsa adalah: 
  • Berkembang biak dalam kelompoknya secara tertutup. 
  • Memiliki nilai-nilai dasar yang terwujud dan tercermin dalam kebudayaan. 
  • Mewujudkan arena komunikasi dan interaksi. 
  • Mempunyai anggota yang mengenali dirinya serta dikenal oleh orang lain sebagai bagian dari satu kategori yang dibedakan dengan yang lain. 
Ketika seseorang yang menjadi bagian dari suku bangsa tertentu mengadakan interaksi maka akan tampak adanya simbol-simbol atau karakter khusus yang digunakan untuk mengekspresikan perilakunya sesuai dengan karakteristik suku bangsanya. 

Misalnya ciri-ciri fisik ataupun rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan. 

Seseorang yang dilahirkan dalam suku bangsa tertentu maka sejak dilahirkannya mau tidak mau harus hidup berpedoman pada kebudayaan suku bangsanya sebagaimana yang digunakan oleh orang tua dan keluarganya dalam merawat dan mendidiknya sehingga menjadi manusia sesuai dengan konsepsi kebudayaan tersebut. 

Sadar ataupun tidak masyarakat suku bangsa ini mengembangkan ikatan yang bersifat primordial, yaitu pemikiran yang mengutamakan atau menonjolkan kepentingan suatu kelompok atau komunitas tertentu dalam hal ini tentu saja kelompoknya sendiri. 

Bagi anggota-anggota suku bangsa yang bersangkutan, budaya mereka menjadi pedoman kehidupan mereka, diyakini kebenarannya, dan menjadi hal utama di dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, hal tersebut sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka. 

Kondisi tersebut berpotensi memunculkan pandangan etnosentrisme yaitu pandangan yang menempatkan bahwa kelompoknya adalah pusat segalanya dan semua kelompok yang lain dibandingkan dan dinilai sesuai standar kelompok tersebut. 

Dengan mengatakan bahwa suku bangsa sendirilah yang paling baik, sesungguhnya merupakan perwujudan pandangan etnosentrisme. Di sisi lain, etnosentrisme merupakan pengembangan sifat yang mampu meningkatkan nasionalisme dan patriotisme suatu suku bangsa tertentu. 

Tanpa etnosentrisme maka kesadaran nasional untuk mempertahankan suatu bangsa dan meningkatkan integrasi bangsa akan sulit dicapai. 

Selain itu etnosentrisme juga dapat menghambat perubahan yang datang dari luar baik yang menghancurkan kebudayaan itu sendiri maupun yang mampu mendukung tujuan masyarakat suku bangsa tersebut. Masih sulit memang mengatakan bahwa etnosentrisme ini baik atau buruk.

c. Menyikapi Masyarakat Multikultural 

Keragaman budaya memunculkan sebuah pemahaman baru tentang budaya daerah yang mempunyai ciri khas dan karakteristik sendiri serta berbeda dengan yang lain sehingga perlu dipertahankan. Namun, hal itu berpotensi memunculkan paham etnosentrisme. 

Hal terpenting bahwa keberagaman budaya yang ada di Indonesia ini adalah kita tidak boleh memahami perilaku kelompok lain hanya dengan membandingkan kebiasaan dan perilaku budaya sendiri. 

Relativisme budaya haruslah dikembangkan dalam memandang keberagaman budaya yang ada di Indonesia. Relativisme budaya mampu menggambarkan kenyataan bahwa fungsi dan arti suatu unsur kebudayaan tergantung pada konteks lingkungan di mana kebudayaan itu berkembang. 

Konsep relativisme budaya tidak berarti bahwa semua adat istiadat mempunyai nilai dan makna yang sama. Di beberapa tempat, beberapa perilaku mungkin dipandang merugikan tetapi di tempat lain pola semacam itu dipandang memiliki tujuan tertentu. 

Masyarakat akan menderita tanpa pola semacam itu kecuali jika ada penggantinya. Misalnya suku bangsa yang terdapat di Papua membuat rumah yang disebut Honai dengan menggunakan jerami dengan tujuan menjaga dan memerangkap panas agar penghuni rumah tidak kedinginan. 

Sedangkan suku bangsa Minang dengan konsep rumah Gadang dengan tujuan dapat menahan getaran gempa hingga 8 skala Richter. 

Dalam konteks lokal keindonesiaan di mana perikehidupan beragama sangat beragam dan plural maka relativisme budaya merupakan salah satu cara terbaik menuju sikap arif dan bijaksana dalam melihat perbedaan-perbedaan kebudayaan.
Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Peran Ilmu Antropologi dalam Memahami Multikulturalisme di Indonesia"

close