Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sistem Pemilihan Umum

Sistem Pemilihan Umum

Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu. 

Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. 

Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolok ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya. 

Di banyak negara Dunia Ketiga beberapa kebebasan seperti yang dikenal di dunia Barat kurang diindahkan atau sekurang-kurangnya diberi tafsiran yang berbeda. 

Dalam situasi semacam ini, setiap analisis mengenai hasil pemilihan umum harus memperhitungkan faktor kekurangbebasan itu serta kemungkinan adanya faktor mobilisasi yang sedikit banyak mengandung unsur paksaan. 

Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu: 

  • Single-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut Sistem Distrik). 
  • Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem Proporsional).

Di samping itu ada beberapa varian seperti Block Vote (BV), Alternative Vote (AV), sistem Dua Putaran atau Two-Round System (TRS), Sistem Paralel, Limited Vote (LV), Single Non-Transferable Vote (SNTV), Mixed Member Proportional (MMP), dan Single Transferable Vote (STV). 

Tiga yang pertama lebih dekat ke sistem distrik, sedangkan yang lain lebih dekat ke sistem proporsional atau semi proporsional. Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single-member constituency) atas dasar pluralitas (suara terbanyak). 

Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multi-member constituency). Perbedaan pokok antara dua sistem ini ialah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik. 

Sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geograis. Setiap kesatuan geograis (yang biasanya disebut ”distrik” karena kecilnya daerah yang tercakup) memperoleh satu kursi dalam parlemen. 

Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik pemilihan (kecil) yang kira-kira sama jumlah penduduknya. (Jumlah penduduk distrik berbeda dari satu negara ke negara lain, misalnya di Inggris jumlah penduduk kira-kira 50.000, di Amerika kira-kira 500.000, dan di India lebih dari satu juta). 

Dalam sistem distrik, satu distrik menjadi bagian dari suatu wilayah, satu distrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini dinamakan the irst past the post (FPTP). 

Pemenang tunggal meraih satu kursi itu. Hal ini terjadi sekalipun selisih suara dengan partai lain hanya kecil saja. Suara yang tadinya mendukung kontestan lain dianggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu partainya untuk menambah jumlah suara partainya di distrik lain. 

Dalam sistem proporsional, satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara itu. 

Sebagai contoh hipotetis, bayangkanlah adanya suatu wilayah dengan 100.000 penduduk, di mana tiga partai bersaing memperebutkan 10 kursi di parlemen. Wilayah itu terdiri atas 10 distrik. Seandainya dalam wilayah dipakai sistem distrik setiap distrik berhak atas 1 kursi dari jumlah total 10 kursi yang diperebutkan dengan jumlah total 10 kursi. 

Seandainya dipakai sistem proporsional wilayah dianggap sebagai satu kesatuan yang sebagai keseluruhan berhak atas 10 kursi. 

Misalnya, dalam satu distrik ada tiga calon. Calon A (beserta partainya) memperoleh 60% suara, calon B mendapat 30% suara, dan calon C mendapat 10% suara. Pemenang, calon partai A, memperoleh 1 kursi (the winner takes all),sedangkan 30% jumlah suara dari calon B dan 10% dari calon C dianggap hilang (wasted). Sistem ini termasuk kategori ”sistem pluralis” (plurality system). 

Seandainya dalam wilayah tersebut dipakai sistem proporsional, wilayah itu yang bisa berbentuk kesatuan administratif (misalnya provinsi) dianggap sebagai kesatuan yang keseluruhannya berhak atas 10 kursi. 

Jumlah suara yang diperoleh secara nasional oleh setiap partai menentukan jumlah kursinya di parlemen, artinya persentase perolehan suara secara nasional dari setiap partai sama dengan persentase perolehan kursi dalam parlemen. 

Misalnya partai A yang memperoleh 60% suara dalam wilayah itu, akan memperoleh 6 kursi dalam parlemen; demikian pula partai B yang memperoleh 30% suara akan mendapatkan 3 kursi, dan partai C dengan 10% suara mendapat 1 kursi. Mengenai perbedaan antara sistem distrik dan sistem proporsional, lihat bagan berikut ini.

Sistem distrik sering dipakai di negara yang mempunyai sistem dwipartai seperti Inggris serta bekas jajahannya seperti India dan Malaysia dan Amerika. Sistem proporsional sering diselenggarakan dalam negara dengan banyak partai seperti Belgia, Swedia, Italia, Negeri Belanda, dan Indonesia. 

Dalam sistem distrik—karena hanya diperlukan pluralitas suara (suara terbanyak) untuk membentuk suatu pemerintahan, dan bukan mayoritas (50% plus satu)—dapat terjadi bahwa partai yang menang dengan hanya memperoleh pluralitas suara dapat membentuk kabinet. 

Pemerintahan semacam ini dinamakan minority government. Di samping itu, ada ciri khas yang melekat pada sistem distrik, yaitu bahwa pelaksanaan sistem distrik mengakibatkan ”distorsi” atau kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai secara nasional dan jumlah kursi yang diperoleh partai tersebut. 

Akibat dari distorsi (distortion efect) menguntungkan partai besar melalui over-representation, dan merugikan partai kecil karena under-representation. Hal ini disebabkan karena banyak suara dari partai kecil bisa dinyatakan hilang atau wasted, yaitu lantaran tidak berhasil menjadi juara pertama di suatu distrik.

Keadaan ini akan sangat berpengaruh dalam masyarakat yang pluralis, dengan banyaknya kelompok minoritas, baik agama maupun etnis. Sebagai contoh, pemilihan umum 1992 Partai Konservatif Inggris yang dipimpin John Major hanya memperoleh 41,9% dari jumlah total suara. 

Akan tetapi karena berhasil menang di banyak distrik sebagai pemenang tunggal, maka partai itu memperoleh 336 kursi atau 51,6% dari jumlah total kursi (651) dalam parlemen, dan dapat membentuk kabinet tanpa koalisi. 

Sebaliknya partai ketiga, Partai Liberal Demokrat, hanya memperoleh 20 kursi atau 3% jumlah kursi padahal memperoleh 17,8% suara masyarakat. 

Hal ini disebabkan karena Partai Liberal Demokrat memperoleh dukungan yang cukup luas dalam banyak distrik, tetapi tidak cukup terkonsentrasi untuk menjadi pemenang tunggal dalam distrik yang bersangkutan. 

Tidak mengherankan bahwa Partai Liberal Demokrat menuntut agar sistem distrik diganti dengan sistem proporsional karena dianggap tidak adil; dan tidak mengherankan pula bahwa partai-partai besar mengabaikan imbauan ini. 

Sistem yang berlaku dipandang telah sesuai dengan peraturan yang sudah cukup lama berlaku, dan karena itu dianggap cukup demokratis dan wajar. Pada tahun 2005 Partai Buruh memperoleh 35,2% suara nasional dan jumlah kursi 356, sedangkan Partai Konservatif memperoleh 32,3 % suara nasional dan jumlah kursi 197. 

Hal serupa terjadi dalam pemilihan umum di Singapura tahun 1988, waktu People’s Action Party memperoleh 80 kursi atau 98% dari total 81 kursi, berdasarkan 61,7% jumlah suara, dan pada pemilihan umum Singapura 1991, waktu People’s Action Party memperoleh 61% suara secara nasional, tetapi 95% kursi dalam parlemen. 

Oposisi memperoleh 39% suara nasional, akan tetapi hanya memperoleh 4 dari 81 kursi atau 5% dari total kursi. Pada pemilihan 2006 People’s Action Party memperoleh 94% suara nasional.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Sistem Pemilihan Umum"

close