Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme

Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme

Pada masa lalu, Indonesia hanya dianggap sebuah provinsi bagi bangsa Belanda, namun tidak diperlakukan sama dengan masyarakat Belanda di Eropa. Belanda hanya menguras kekayaan Indonesia untuk kemakmuran negerinya. 

Bagaimanakah reaksi masyarakat Indonesia? Tentu saja mereka melawan. Mari pelajari lebih lanjut perlawananperlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dengan mencermati uraian berikut! 

a. Perlawanan terhadap Persekutuan Dagang 

1) Sultan Baabullah Mengusir Portugis 

Konflik antara kerajaan di Indonesia dan persekutuan/kongsi dagang Barat terjadi sejak para kongsi dagang menunjukkan kecongkakannya. Sebagai contoh, Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore dan Portugis.  

Penyebab utamanya adalah Portugis menghalang-halangi perdagangan Banda dengan Tidore. Portugis menembaki jung-jung (perahu) dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore. Tidore tidak terima dengan tindakan armada Portugis, lalu melakukan perlawanan. 

Dalam perang tersebut, Portugis berhasil mengadu domba Kerajaan Ternate dan Tidore. Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan. Akhirnya, Portugis mendapat kemenangan. Rakyat Maluku sadar bahwa Portugis hanya akan merusak perdamaian. 

Sultan Hairun berhasil menyatukan rakyat dan mengobarkan perlawanan pada tahun 1565. Portugis terus terdesak oleh gempuran tentara kerajaan yang didukung rakyat. Portugis menawarkan perundingan kepada Sultan Hairun. 

Sultan Hairun adalah raja yang cinta damai sehingga menerima ajakan Portugis. Pada tahun 1570, bertempat di Benteng Sao Paolo, terjadi perundingan antara Sultan dan Portugis. 

Pada awal perundingan semua berjalan seperti sebuah pertemuan pada umumnya, yaitu membicarakan suatu hal penting. Pada saat itu, Sultan Hairun tidak menaruh curiga sedikit pun. Ia merasa bahwa perdamaian jauh lebih baik. 

Namun, pada saat perundingan berlangsung tanpa disangka-sangka tiba-tiba Portugis menangkap Sultan Hairun dan pada saat itu juga membunuhnya. Kelicikan dan kejahatan Portugis tersebut menimbulkan kemarahan rakyat Maluku. 

Sultan Baabullah (putera Sultan Hairun) dengan gagah melanjutkan perjuangan ayahandanya dengan memimpin perlawanan. Pada saat bersamaan, Ternate dan Tidore bersatu melancarkan serangan terhadap Portugis. 

Akhirnya, pada tahun 1575, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Selanjutnya, Portugis melarikan diri dan menetap di Ambon. Pada tahun 1605, Portugis berhasil diusir oleh VOC dari Ambon. Portugis kemudian menyingkir ke Timor Timur/Timor Leste dan melakukan kolonisasi di tempat itu. 

2) Perlawanan Aceh 

Tahukan kalian bahwa selain di Ternate dan Tidore, perlawanan masyarakat Indonesia terhadap Portugis juga dilakukan oleh rakyat Aceh di Pulau Sumatra? Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), armada Aceh telah disiapkan untuk menyerang kedudukan Portugis di Malaka. 

Saat itu, Aceh telah memiliki armada laut yang mampu mengangkut 800 prajurit. Pada saat itu, wilayah Kerajaan Aceh telah sampai di Sumatra Timur dan Sumatra Barat. 

Pada tahun 1629, Aceh mencoba menaklukkan Portugis, tetapi penyerangan yang dilakukan Aceh ini belum berhasil mendapat kemenangan. Meskipun demikian, Aceh masih tetap berdiri sebagai kerajaan yang merdeka. 

3) Ketangguhan “Ayam Jantan dari Timur” 

Kalian tentu tidak asing dengan nama Sultan Hasanuddin. Tokoh ini sangat ditakuti Belanda karena ketangguhannya melawan Belanda sehingga disebut sebagai “Ayam Jantan dari Timur”. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa di Sulawesi Selatan. 

Suatu ketika, Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dan Bone (Arung Palaka) berselisih paham. Hal ini dimanfaatkan VOC dengan mengadu domba kedua kerajaan tersebut. VOC memberikan dukungan, sehingga Bone menang saat perang dengan Gowa tahun 1666. 

Sultan Hassanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Perjanjian Bongaya adalah perjanjian antara Sultan Hasanuddin dan VOC. Isi dari perjanjian Bongaya sebagai berikut. 

  • Belanda memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makassar; 
  • Belanda mendirikan benteng pertahanan di Makassar; 
  • Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya berupa daerah di luar Makassar; 
  • Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.

Perjanjian Bongaya telah memangkas kekuasaan Kerajaan Gowa sebagai kerajaan terkuat di Sulawesi. Tinggal kerajaan-kerajaan kecil, yang sulit melakukan perlawanan terhadap VOC. 

4) Serangan Mataram terhadap VOC

Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme

Perhatikan gambar peta di atas. Mataram adalah kerajaan besar di Jawa Tengah. Keberadaan VOC di Batavia sangat membahayakan Mataram. Pada awalnya, Mataram dengan Belanda dianggap menjalin hubungan baik. 

Belanda diizinkan mendirikan benteng gudang (loji) untuk kantor dagang di Jepara pada tahun 1615. Belanda juga memberikan dua meriam untuk Kerajaan Mataram. Perselisihan antara Mataram dan Belanda terjadi karena nafsu monopoli Belanda. 

Pada tanggal 8 November 1618, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen memerintahkan van der Marct menyerang Jepara. Kerugian Mataram sangat besar. Peristiwa tersebut memperuncing perselisihan antara Mataram dan Belanda. 

Raja Mataram Sultan Agung segera mempersiapkan penyerangan terhadap kedudukan VOC di Batavia. Serangan pertama dilakukan pada tahun 1628. Pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Baurekso, yang tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. 

Selanjutnya, menyusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, dan kedua bersaudara yaitu Kiai Dipati Mandurejo dan Upa Santa. 

Mengapa serangan pertama mengalami kegagalan? Hal ini terjadi selain karena kurangnya perbekalan, juga disebabkan Mataram kurang matang dalam memperhitungkan medan pertempuran. Faktor lain adalah persenjataan Belanda jauh lebih modern dibandingkan tentara Mataram. 

Serangan pertama yang dilakukan oleh Mataram gagal sehingga terpaksa pasukan ditarik kembali ke Mataram tanggal 3 Desember 1628. Pada serangan tersebut, tidak kurang 1.000 prajurit Mataram gugur dalam medan pertempuran. 

Mataram segera mempersiapkan serangan kedua, dengan pimpinan Kyai Adipati Juminah, K.A. Puger, dan K.A. Purbaya. Persiapan dilakukan dengan lebih matang. Gudang-gudang dan lumbung persediaan makanan didirikan di berbagai tempat. 

Setelah semua persiapan selesai, pengepungan secara total terhadap Batavia pun dilakukan. Serangan dimulai pada tanggal 1 Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629. 

Namun, serangan kedua ini pun gagal, karena faktor kelemahan yang sama seperti pada serangan pertama serta lumbung padi persediaan makanan banyak dihancurkan Belanda sehingga semakin memperlemah kekuatan Mataram. 

Pada tahun 1799, terjadi peristiwa penting dalam sejarah kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia. VOC dinyatakan bangkrut hingga dibubarkan. Keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di negeri jajahan seperti di Indonesia tidak dapat dilanjutkan lagi. 

Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah. Setelah dibubarkannya VOC, Indonesia berada langsung di bawah pemerintah Hindia Belanda. 

b. Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda

Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme

Perhatikan gambar Masjid Agung Aceh di atas! Bagi masyarakat Aceh, Masjid Aceh tersebut merupakan masjid bersejarah yang terkait erat dengan semangat perjuangan masyarakat Aceh. 

Bukan sekadar tempat ibadah kebanggaan masyarakat, masjid tersebut merupakan simbol perjuangan rakyat Aceh menentang imperialisme Barat. Masjid tersebut menjadi salah satu benteng perjuangan rakyat melawan Belanda. 

Perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Abad XIX merupakan puncak perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah menentang Pemerintah Hindia Belanda. 

Kegigihan perlawanan rakyat Indonesia menyebabkan Belanda mengalami krisis keuangan untuk membiayai perang. Perlawanan di berbagai daerah tersebut belum berhasil membuahkan kemerdekaan. Semua perlawanan dipadamkan dan kerajaan-kerajaan di Indonesia semakin mengalami keruntuhan. 

Bagaimana proses perlawanan rakyat Indonesia abad XIX? Kalian akan menelusuri sebagian perlawanan tersebut melalui uraian di bawah ini.

1) Perang Saparua di Ambon 

Kalian masih ingat kekuasaan Inggris yang menggantikan Belanda pada tahun 1811-1816? Peralihan kekuasaan tersebut menyadarkan rakyat bahwa Belanda bukanlah kekuatan yang paling hebat. 

Ketika Belanda kembali berkuasa di Indonesia tahun 1817, rakyat Ambon mengadakan perlawanan, di bawah pimpinan Thomas Matulesi (Pattimura). Pattimura memimpin perlawanan di Saparua dan berhasil merebut benteng Belanda serta membunuh Residen van den Berg. 

Dalam perlawanan tersebut, turut serta pula seorang pahlawan wanita bernama Christina Martha Tiahahu yang merupakan putri tunggal dari Paulus Tiahahu, teman dari Kapten Pattimura. Perlawanan Pattimura dapat dikalahkan setelah bantuan Belanda dari Batavia datang. 

Pattimura bersama tiga pengikutnya ditangkap dan dihukum gantung. Untuk memperdalam pemahamanmu tentang perjuangan Pattimura, carilah buku biografinya!

2) Perang Paderi di Sumatra Barat (1821-1838)

Minangkabau, Sumatra Barat merupakan salah satu pusat gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Gerakan pemurnian ajaran Islam dibawa oleh para haji yang pulang dari Mekah. Tokohnya adalah Haji Miskin, Haji Sunanik, dan Haji Piobang. 

Kelompok pembaharu Islam di Sumatra Barat ini disebut sebagai kaum Padri. Mereka terpengaruh oleh para pembaharu Islam di Timur Tengah, dan menggelorakan semangat kembali pada kebangkitan Islam. Ide pembaharuan Kaum Paderi berbenturan dengan kelompok adat atau kaum penghulu. 

Belanda memanfaatkan perselisihan tersebut dengan mendukung kaum adat yang posisinya sudah terjepit. 

Perlawanan kaum Padri dengan sasaran utama Belanda meletus tahun 1821. Kaum Padri dipimpin Tuanku Imam Bonjol (M Syahab), Tuanku nan Cerdik, Tuanku Tambusai, dan Tuanku nan Alahan. Perlawanan kaum Padri berhasil membuat Belanda terpojok. 

Sementara itu, Belanda menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830). Belanda sadar apabila pertempuran dilanjutkan, Belanda akan kalah. Belanda pun mengajak kaum Padri berdamai, yang diwujudkan di Bonjol tanggal 15 November 1825. 

Selanjutnya, Belanda berkonsentrasi ke Perang Diponegoro. Belanda berhasil memadamkan perlawanan Diponegoro. Setelah itu, Belanda kembali melakukan penyerangan terhadap kedudukan Padri. 

Kaum adat yang semula bermusuhan dengan kaum Padri akhirnya mendukung perjuangan Padri. Bantuan dari Aceh juga datang untuk mendukung pejuang Padri. Belanda benarbenar menghadapi musuh yang tangguh. Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. 

Benteng Fort de Kock di Bukit tinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng pertahanannya. Dengan siasat tersebut, Belanda akhirnya menang, yang ditandai dengan jatuhnya benteng pertahanan terakhir Padri di Bonjol tahun 1837. 

Tuanku Imam Bonjol ditangkap, kemudian diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864. 

Berakhirnya Perang Padri membuat kekuasaan Belanda di Minangkabau semakin besar. Keadaan ini kemudian mendukung usaha Belanda untuk menguasai wilayah Sumatra yang lain.

3) Perang Diponegoro (1825-1830)

Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar yang dihadapi Belanda. Perlawanan Pangeran Diponegoro tidak lepas dari kegelisahan dan penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda. 

Campur tangan pemerintah Hindia Belanda dalam urusan Keraton Yogyakarta merupakan salah satu penyebab kegelisahan rakyat. 

Pajak-pajak yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda dan kebijakan ekonomi lainnya menjadi sumber penderitaan rakyat, yang ikut juga melatarbelakangi Perang Diponegoro. 

Salah satu bukti campur tangan politik Belanda adalah dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta terjadi ketika pada tahun 1822 Hamengkubuwono IV wafat. 

Di dalam keraton muncul perselisihan tentang penggantinya. Saat itu, putra mahkota baru berumur 3 (tiga) tahun. Keadaan ini menjadi kesempatan bagi Belanda untuk campur tangan dalam urusan kerajaan. 

Beberapa tindakan Belanda yang dianggap melecehkan harga diri dan nilai-nilai budaya masyarakat menjadi penyebab lain kebencian rakyat kepada Belanda. Berbagai kegelisahan dan penderitaan yang lama berlangsung dipicu oleh berbagai peristiwa yang membuat rakyat marah. 

Sebagai contoh, saat membangun jalan baru pada bulan Mei 1825, Belanda dan Patih Danurejo memasang patok-patok pada tanah leluhur Diponegoro. Terjadi perselisihan saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti patok-patok tersebut. 

Belanda segera mengutus serdadu untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Perang tidak dapat dihindarkan. Pada tanggal 20 Juli 1825, Tegalrejo yang menjadi basis pengikut Diponegoro direbut dan dibakar Belanda.

Diponegoro meninggalkan kota dan menyusun strategi perlawanan di luar Kota Yogyakarta. Perang Jawa dikumandangkan (1825-1830) untuk mengusir Belanda. Perlawanan tersebut menular sampai Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Belanda berusaha membujuk para pejuang dengan memulangkan Hamengkubuwono II dari pengasingannya di Ambon. Namun, langkah ini gagal memadamkan perlawanan. Selanjutnya, Belanda menerapkan siasat BentengStelsel. 

Dengan sistem ini, Belanda mampu memecah belah jumlah pasukan musuh. Belanda berhasil menangkap Kyai Maja dan Pangeran Mangkubumi. Belanda kemudian juga berhasil meyakinkan panglima Sentot Prawiryodirjo untuk membuat perjanjian perdamaian.

4) Perang Aceh  

Traktat London tahun 1871 menyebut Belanda menyerahkan Sri Lanka kepada Inggris, dan Belanda mendapat hak atas Aceh. Berdasarkan traktat tersebut, Belanda mempunyai alasan untuk menyerang istana Aceh. Saat itu, Aceh masih merupakan negara merdeka. 

Belanda juga membakar Masjid Baiturrahman yang menjadi benteng pertahanan Aceh 5 April 1873. Semangat jihad (perang membela agama Islam) menggerakkan perlawanan rakyat Aceh. Jendral Kohler terbunuh saat pertempuran di depan Masjid Baiturrahman, Banda Aceh. 

Kohler meninggal dekat dengan pohon yang sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus terkuras. 

Belanda sama sekali tidak mampu menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgronje yang memakai nama samaran Abdul Gafar. Sebagai seorang ahli bahasa, sejarah, dan sosial Islam, ia dimintai masukan atau rekomendasi tentang cara-cara mengalahkan rakyat Aceh. 

Setelah lama belajar di Arab, Snouck Hurgronje memberikan saran-saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, sebab karakter orang Aceh tidak akan pernah menyerah. 

Jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi. Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan Uleebalang (bangsawan) dan kaum ulama. Belanda menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. 

Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898, kedudukan Aceh semakin terdesak. Banyak tokohnya yang gugur. Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada 1899. 

Sultan Aceh Mohammad Daudsyah ditawan pada tahun 1903 dan diasingkan hingga meninggal di Batavia. Panglima Polem Mohammad Daud juga menyerah pada tahun 1903. Cut Nyak Dien, tokoh pemimpin perempuan, ditangkap tahun 1906, kemudian diasingkan ke Sumedang. 

Pahlawan perempuan Cut Meutia gugur pada tahun 1910. Perlawanan Aceh pun terus menyusut. Hingga tahun 1917, Belanda masih melakukan pengejaran terhadap sisa-sisa perlawanan Aceh. Belanda mengumumkan berakhirnya Perang Aceh pada tahun 1904. Namun demikian, perlawanan seporadis rakyat Aceh masing berlangsung hingga tahun 1930an.
Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme"

close