Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

POLITIK INDEPENDENSI PERADILAN

POLITIK INDEPENDENSI PERADILAN

Prinsip negara hukum yang dianut di Indonesia semakin dipertegas dalam era reformasi dengan dilakukan amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Pada Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. 

Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 

Dalam upaya memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka itu, maka sesuai tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Serangkaian perundang-undangan tersebut pada intinya adalah untuk menghormati independensi peradilan. 

Montesquieu (mantan hakim di Perancis) pernah memimpikan pentingnya pemisahan kekuasaan yang eksterim antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan terutama kekuasaan kehakiman (yudikatif). 

Dalam praktiknya di kemudian hari, impian Motesquieu tersebut tidak pernah menjadi kenyataan, terutama dalam hubungan antara fungsi legislatif dan eksekutif. Namun, dalam konteks fungsi kekuasaan kehakiman apa yang diimpikannya itu justru menjadi pegangan di seluruh dunia. 

Karena itu, sampai sekarang prinsip the independence of judiciary menjadi salah satu ciri terpenting setiap negara hukum yang demokratis. Tidak ada negara yang dapat disebut negara demokrasi tanpa praktik kekuasaan kehakiman yang independen. 

Di negara-negara yang menganut tradisi civil law maupun common law baik yang menganut system pemerintahan parlementer maupun yang menganut system pemerintahan presidensial, lembaga kehakiman selalu berdiri sendiri. 

Misalnya, di negara-negara yang menganut sistem parlementer, terdapat percampuran antara fungsi legislatif dan aksekutif. Di Inggris misalnya, untuk menjadi menteri seseorang justru disyaratkan harus berasal dari anggota marlemen. 

Parlemen dapat membubarkan kabinet melalui mekanisme “mosi tidak percaya”. Demikian juga sebaliknya, pemerintah dapat membubarkan parlemen dengan cara mempercepat pemilihan umum. Namun demikian, kekuasaan kehakiman (judiciary) tetap bersifat independen dari pengaruh cabangcabang kekuasaan lainnya (C.F. Strong, 2007: 13).

Dalam tradisi Amerika Serikat dan di banyak negara lain, cabang kekuasaan kehakiman sering kali mengenyampingkan berlakunya (setting aside) suatu peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh parlemen dalam memutuskan suatu perkara konkret demi menegakkan keadilan dalam menyelesaikan perkara yang bersangkutan. 

Tradisi yang demikian itu tidak lazim atau bahkan sama sekali tidak dikenal dalam praktek peradilan di Inggris (C.F. Strong, 2007: 14). 

Pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi peradilan. Prinsip pemisahaan kekuasaan (separation of power) itu menghendaki agar para hakim dapat bekerja secara idenpenden dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Bahkan dalam memahami dan menafsirkan undang-undang, hakim harus independen dari pendapat dan bahkan dari kehendak politik para perumus undang-undang itu sendiri ketika perumusan dilakukan. 

Meskipun anggota parlemen dan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat mencerminkan kedaulatan rakyat dalam menentukan kebijakan kenegaraan, tetapi kata akhir dalam memahami maksud undang-undang tetap berada di tangan para hakim (Jimly Asshiddiqie, 2007: 523). 

Oleh karena itu, dibutuhkan para hakim yang mampu menafsirkan kandungan norma yang terdapat di dalam undang-undang secara tepat dan adil sehingga dapat dijadikan dasar untuk memutuskan persoalan yang timbul dengan putusan yang menjadi solusi terakhir. 

Untuk itulah, dibutuhkan para hakim yang benar-benar kompeten, berintegritas, dan dapat dipercaya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibutuhkan pengaturan yang tepat mengenai tipe manusia seperti apa yang seharusnya dipilih dan diangkat menjadi hakim. 

Dalam kegiatan bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan yang bersifat triadik (triadic relation) antara negara (state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil society), kedudukan hakim harus berada di tengah. 

Demikian pula dalam hubungan antara negara (state) dan warga negara (citizens), harus berada di antara keduanya secara seimbang. Jika negara dirugikan oleh warga negara, karena warga negara melanggar hukum negara, maka hakim harus memutuskan hal itu secara adil. 

Jika warga negara dirugikan oleh keputusan negara baik melalui perkara Tata Usaha Negara (TUN) maupun perkara pengujian peraturan, hakim juga harus memberi putusan yang adil. Jika antar warga negara sendiri maupun dengan lembaga-lembaga negara terlibat dalam sengketa kepentingan perdata satu sama lain, maka hakim atas nama negara juga harus memutuskannya dengan seadiladilnya. 

Oleh karena itu, hakim dan kekuasaan kehakiman memang harus ditempatkan sebagai cabang kekuasaan tersendiri (Jimly Asshiddiqie, 2007: 523-525). Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknnya hukum dan keadilan, dan menjadi prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. 

Di Negara hukum modern (modern constitutional state) ada dua prinsip dan menjadi prasyarat utama dan system perdilannya, yaitu: (i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle of judicial impartiality. 

Prinsip kemandirian (independensi) itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya.

Di samping itu, independensi juga harus tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan (rekrutmen), masa kerja, pengembangan karir, sistem penggajian, dan pemberhentian hakim. 

Khusus mengenai penggajian hakim, kekuasaan kehakiman di Indonesia belum mandiri karena system penggajian hakim masih ditentukan oleh pemerintah (eksukutif). Sehingga karena itu, tingkat kesejahteraan hakim sebagai pejabat negara belum setara dengan hakim-hakim di negara lain.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "POLITIK INDEPENDENSI PERADILAN"

close