Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Perkembangan Antropologi

Setiap ilmu pengetahuan pastinya memiliki akar sejarah keberadaannya. Setelah mempelajari pengantar antropologi, tentunya kalian bertanyatanya: bagaimana sejarah dan perkembangan antropologi sebagai disiplin ilmu pengetahuan? 

Konteks apa yang melatarbelakangi lahirnya ilmu tersebut? Pada pembahasan subbab ini disajikan sejarah perkembangan ilmu antropologi. 

Sejarah keilmuan ini menjadi penting didiskusikan untuk menjadi cerminan masa lalu dalam memahami kompleksitas permasalahan yang dialami masyarakat hari ini. Oleh karena itu, pembahasan mengenai sejarah perkembangan antropologi penting untuk dibahas. 

Sejarah Perkembangan Antropologi

Sejarah antropologi merupakan sejarah karya-karya etnografi yang menjadi metode utamanya. Sejarah antropologi sebagai sebuah ilmu “resmi” telah memasuki usia abad keduanya (Saifuddin, 2015). 

Beberapa antropolog sepakat bahwa antropologi secara formal dijadikan sebagai sebuah disiplin keilmuan dua abad yang lalu. Meskipun tidak dipungkiri perkembangan awal antropologi diawali oleh para ahli filsafat Perancis termasyhur seperti J.J. Rousseau (Saifuddin, 2005). 

Pada perkembangan awal antropologi, yakni sebelum tahun 1800-an, berasal dari negara-negara di Benua Eropa. Pernahkah kalian mengenal istilah “merkantilisme”? Dalam pelajaran sejarah, kalian sudah dijelaskan tentang merkantilisme. 

Era merkantilisme menandai proses perdagangan antar bangsa yang dilakukan oleh para “merchant” atau saudagar bekerja sama dengan negara dan gereja. Dalam penjelajahan samuderanya selain berdagang mereka mempunyai misi khusus yakni memperluas wilayah kekuasaan negara dan menyebarkan agama. 

Semboyan gold, glory, dan gospel menjadi spirit penaklukan dunia Barat terhadap bangsa-bangsa di timur sekaligus menandai era awal kolonialisme. 

Terlepas dari keberadaan para saudagar dengan tujuan perdagangan, para pendeta agama Nasrani, penerjemah Alkitab Injil dan pegawai pemerintah kolonial yang dibawa dalam misi perdagangan ini, menuliskan pengalaman mereka dalam bentuk kisah perjalanan, catatan, serta laporan pemerintah kolonial (Koentjaraningrat, 2009).

Di kalangan para antropolog masih menjadi perdebatan tentang sejak kapan antropologi dapat dinyatakan sebagai disiplin keilmuan secara pasti. 

Namun, sebagian besar antropolog meyakini bahwa antropologi muncul sebagai satu cabang keilmuan yang jelas batasannya dengan ilmu-ilmu lain sejak abad ke-19. Kemunculan ilmu antropologi bersamaan dengan lahirnya teori Darwin tentang evolusi manusia. 

Pada abad selanjutnya, antropologi mengalami perkembangan pesat manakala antropologi telah diakui sebagai disiplin pengetahuan akademik. Hal itu terjadi ketika antropolog diakui sebagai profesi yang ditandai dengan pengangkatan sarjana antropologi bekerja pada universitas, museum, dan kantor-kantor pemerintahan (Saifuddin, 2005). 

Koentjaraningrat berpendapat bahwa “sejarah gagasan” antropologi bahkan dimulai dari tulisan-tulisan filsuf, pensyarah Yunani, sejarah Arab kuno, sejarah Eropa kuno, maupun masa abad pencerahan atau renaisans yang dianggap pendorong dibangunnya tradisi antropologi (Koentjaraningrat, 2009).

Setelah memasuki fase keempat, antropologi berkembang sangat pesat. Pada fase ini, antropologi sebagai disiplin ilmu sudah berkembang tidak hanya mempelajari di luar bangsa-bangsa Eropa. Setelah Perang Dunia II, seiring dengan gelombang emansipasi dan gerakan pembebasan terutama di negara-negara Asia dan Afrika, mendorong antropologi mempelajari fenomena pascakolonial. 

Hal itu memunculkan kesadaran baru di kalangan antropolog tentang pentingnya meletakkan spirit emansipasi atau kesetaraan di antara bangsa-bangsa di dunia sebagai nilai utama ilmu antropologi. 

Dampak paling nyata dari gelombang emansipasi tersebut adalah tidak digunakannya istilah “primitif” yang bermakna terbelakang untuk menjelaskan berbagai suku bangsa di luar bangsa Eropa. Terakhir, antropologi telah memasuki fase kelima. 

Antropologi telah memasuki perjalanan dua abad sebagai sebuah disiplin keilmuan yang tergolong relatif muda, jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Pada fase ini cara pandang analisis teori dalam antropologi semakin beragam. 

Wacana dan perdebatan antropologi masih terus berlangsung, dinamika pun terjadi dalam tubuh antropologi sebagai sebuah disiplin keilmuan. Antropologi kebanyakan sudah berkembang tidak hanya mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa. 

Antropologi telah merambah pada kehidupan masa kini, seperti dalam pembahasan sebelumnya tentang fenomena Korean Wave di Indonesia sebagai budaya populer. Di Indonesia, antropologi diajarkan untuk siswa sekolah menengah atas dan di sejumlah perguruan tinggi dengan membuka jurusan antropologi. 

Bahkan kajian antropologi di Indonesia sudah lebih luas yakni dengan pendekatan maraknya antropologi visual dan metode netnografi. Metode netnografi misalnya, berkembang seiring dengan Revolusi Industri 4.0 yang ditandai masifnya penggunaan internet. 

Netnografi sendiri merupakan metode penelitian antropologi yang menerapkan prinsipprinsip etnografi dengan menggunakan sumber data berasal dari dunia maya dan memanfaatkan teknologi digital. 

Setelah mencermati secara cepat ilmu antropologi di atas, kalian dapat menemukan sejarah perkembangan antropologi. 

Namun demikian, paparan mengenai sejarah perkembangan antropologi tetap penting untuk didiskusikan dengan melihat konteks yang melatarbelakangi lahirnya masing-masing fase. Pemahaman tentang konteks pada masing-masing fase pertumbuhan antropologi membantu kita untuk memahami rute perkembangan antropologi dengan utuh. Kita dapat mencermati ulasan masing-masing fase berikut ini:

Fase Pertama (sebelum abad ke-18)

Pada fase pertama, kelahiran antropologi sebagai ilmu tidak langsung dirumuskan men jadi satu disiplin keilmuan tersendiri. Se jarah kelahiran antropologi tidak terlepas dari keberadaan catatan-catatan etnografi bangsa-bangsa Eropa dimulai sejak era “merkantilisme” pada abad ke-14. 

Dimulai dari kedatangan bangsa Eropa Barat ke benua Asia, Afrika, Oseania, dan Amerika selama empat abad yang banyak dilakukan oleh para pedagang, musafir, pelaut, pendeta Nasrani, dan pegawai pemerintah kolonial. 

Mereka mengumpulkan laporan, kisah perjalanan dan pengetahuan berupa deskripsi tentang adat istiadat, susunan masyarakat, dan ciri-ciri fisik penduduk pribumi (Gunsu, Rodliyah, and Hapsari 2019). 

Bahan deskripsi itu disebut etnografi yang berasal dari gabungan kata ethnos yang bermakna ‘bangsa’ dan graphy yang berarti ‘penggambaran’ (Koentjaraningrat, 2009). 

Namun, beberapa laporan etnografis yang memuat pandangan orang Eropa terhadap masyarakat pribumi tersebut acap kali mengandung bias. Bias tersebut ditandai dengan laporan yang kabur, tidak teliti, dan hanya memperhatikan halhal yang dianggap menarik bagi orang Eropa.

Ada beberapa kontroversi catatan etnografis yang dibuat oleh orang-orang Eropa Barat terhadap bangsa-bangsa di Afrika, Asia, Oseania, dan orang-orang Indian di Amerika. Pertama, adanya pendapat bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa bukan manusia sebenarnya, melainkan manusia liar kemudian dikenal istilah savages primitives. 

Kedua, adanya pandangan bahwa masyarakat di luar Eropa kala itu masih murni belum mengenal kejahatan. Ketiga, adanya kumpulan-kumpulan adat istiadat dan bendabenda aneh yang diperolehnya dari bangsa-bangsa Afrika, Asia, Oseania, dan Amerika, sehingga dikumpulkan menjadi koleksi museum-museum di Eropa (Koentjaraningrat, 2009).

Fase Kedua (Pertengahan Abad ke-19)

Pada fase ini tumbuh subur penganut Darwinisme dengan teori evolusinya. Evolusi merupakan cara berpikir yang melihat manusia berevolusi dengan sangat lambat yakni dalam jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat yang rendah, melalui beberapa tingkat, sampai ke tingkat yang paling tinggi. 

Teori evolusi ini berkembang di Eropa pada pertengahan abad ke-19, dan segera meraih pengaruh berbagai pemikiran, tidak terkecuali antropologi. Tulisan-tulisan etnografi kala itu juga tumbuh subur dengan semangat evolusionismenya. 

Cara berpikir semacam ini, menurut Koentjaraningrat (2009), melihat masyarakat dan kebudayaan lahir, bertahan dan berkembang melalui proses evolusi. 

Cara pandang ini memiliki konsekuensi adanya cara pandang bahwa perbedaan manusia ditentukan seberapa jauh manusia telah melintasi tahap-tahap evolusinya, sehingga ada ras manusia yang dianggap unggul dan ada pula manusia yang masih dinilai primitif. 

Pada tahap ini antropologi sudah mulai ke ranah akademik. Sudah banyak bermunculan jurusan-jurusan antropologi di beberapa universitas di dunia.

Fase Ketiga (Permulaan Abad ke-20)

Pada fase ini antropologi dijadikan ilmu praktis yang melayani kepentingan kolonialisme Eropa untuk mengukuhkan kekuasaan di daerah-daerah jajahannya di luar Eropa. Antropologi sebagai satu ilmu yang mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa semakin penting kedudukannya. 

Di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Banyak sarjana antropologi mengabdikan hasil penelitian etnografinya pada pemerintah penjajah seperti Christiaan Snouck Hurgronje di Aceh. 

Menurut Koentjaraningrat (2009), pada fase ini antropologi mempelajari masyarakat dan kebudayaan sukusuku bangsa di luar Eropa untuk kepentingan pemerintah kolonial guna mendapatkan suatu pengertian masyarakat setempat yang kian kompleks (Koentjaraningrat, 2009). 

Fase Keempat (Sesudah Tahun 1930-an)

Pada fase ini ilmu antropologi berkembang sangat pesat, baik bertambahnya bahan pengetahuan yang lebih teliti maupun bertambahnya metode-metode ilmiah (Koentjaraningrat, 2009). 

Hal ini didorong oleh spirit anti kolonialisme dalam rentang waktu Perang Dunia ke-2 dan hilangnya bangsa-bangsa primitif di luar Eropa. Dari segi tujuan, perkembangan ilmu antropologi pada fase keempat ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis. 

Tujuan akademik antropologi adalah mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari keragaman bentuk fisiknya, masyarakat serta kebudayaannya. 

Sedangkan tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat suku bangsa guna membangun bangsa tersebut (Gunsu et al. 2019). 

Fase Kelima (Antropologi Masa Kini) 

Perkembangan terkini, antropologi telah memasuki fase kelima. Kajian tentang perkotaan, politik, kebencanaan, hingga perkembangan masyarakat digital menjadi arena kajian para antropolog pula. 

Antropologi bahkan tampil sebagai disiplin ilmu yang merespon perkembangan dan tantangan zamannya. Kajiankajian antropologi misalnya merespon isu ancaman perubahan iklim yang berdampak besar bagi lingkungan dan keberlanjutan kehidupan manusia. 

Antropologi juga menaruh perhatian terhadap Revolusi Industri 4.0 yang memunculkan fenomena disrupsi pada segala bidang. Pada gilirannya, studi-studi antropologi merambah pada beragam arena yang terhubung dengan kompleksitas manusia, masyarakat, kebudayaan, dan lingkungannya di zaman serba rentan dan beresiko.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Sejarah Perkembangan Antropologi"

close