Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lain

Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lain

Hubungan-hubungan ilmu politik tidak hanya terbatas pada sejarah dan filsafat, tetapi juga meliputi ilmu-ilmu sosial lainnya.

Ilmu politik merupakan salah satu dari kelompok besar ilmu sosial dan erat sekali hubungannya dengan anggota-anggota kelompok lainnya, seperti sosiologi, antropologi, ilmu hukum, ekonomi, psikologi sosial, dan ilmu bumi sosial. 

Semua ilmu sosial mempunyai obyek penyelidikan yang sama, yaitu manusia sebagai anggota kelompok (group). Mereka mempelajari tingkah laku manusia serta cara-cara manusia hidup serta bekerja sama. 

Cara penglihatan ini berdasarkan gagasan bahwa manusia itu tidak dapat hidup tersendiri, tetapi selalu hidup dalam suatu komunitas. Gagasan bahwa secara mutlak manusia merupakan anggota kelompok (group) bukanlah- penemuan baru. 

Sejak kira-kira tahun 400 S.M. ilsuf Yunani Aristoteles berkata bahwa manusia merupakan zoon politikon (makhluk sosial atau makhluk politik) dan bahwa manusia yang hidup tersendiri adalah dewa atau binatang. 

Mengenai ilmu-ilmu apa yang termasuk ilmu-ilmu sosial tidak ada persesuaian paham. Misalnya, sarjana-sarjana seperti Bert F, Hoselitz dan Edwin R.A. Seligman menyebut sejarah sebagai salah satu ilmu sosial, tetapi tidak menyebut ilmu administrasi atau ilmu komunikasi. 

Ada juga pihak lain yang menyangkal bahwa sejarah merupakan suatu ilmu sosial, sementara itu ilmu administrasi dan ilmu komunikasi di berbagai perguruan tinggi diperlakukan sebagai ilmu sosial. 

Berhubung ada perbedaan pendapat ini, ada baiknya disebut di sini ilmu-ilmu yang oleh badan internasional seperti UNESCO disebut sebagai ilmu sosial, yaitu: sosiologi, psikologi sosial, antropologi budaya, hubungan internasional, ilmu hukum, ilmu politik, ekonomi, statistik, kriminologi, demograi, dan ilmu administrasi. Beberapa dari ilmu sosial ini akan dibahas di bawah ini. 

1. Sosiologi 

Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lain

Di antara ilmu-ilmu sosial, sosiologi-lah yang paling pokok dan umum sifatnya. Sosiologi membantu sarjana ilmu politik dalam usahanya memahami latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai golongan dan kelompok dalam masyarakat. 

Dengan menggunakan pengertian-pengertian dan teori-teori sosiologi, sarjana ilmu politik dapat mengetahui sampai di mana susunan dan stratiikasi sosial memengaruhi ataupun dipengaruhi oleh misalnya keputusan kebijakan (policy decisions), corak dan sifat keabsahan politik (political legitimacy), sumber-sumber kewenangan politik (sources of political authority), pengendalian sosial (social control), dan perubahan sosial (social change). 

Mengenai masalah perubahan dan pembaruan, sosiolog menyumbangkan pengertian akan adanya perubahan dan pembaruan dalam masyarakat. 

Apabila dalam masyarakat timbul golongan-golongan atau kelompokkelompok baru yang memajukan kepentingan-kepentingan baru, maka nilai-nilai kebudayaan masyarakat secara keseluruhan akan menunjukkan perubahan-perubahan dalam pola kehidupan politik. 

Pergerakan perburuhan di negara-negara industri dan pergerakan petani di negara-negara agraris, misalnya, menyebabkan orientasi kepada nilai-nilai baru yang timbul sebagai akibat pergeseran golongan dan kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat. 

Perkembangan pertambahan penduduk dengan sendirinya akan mengakibatkan perubahan dalam stratiikasi sosial, hubungan antarkelas, ketegangan-ketegangan politik, dan meningkatnya masalah-masalah organisasi sosial dan politik. 

Baik sosiologi maupun ilmu politik mempelajari negara. Akan tetapi sosiologi menganggap negara sebagai salah satu lembaga pengendalian sosial (agent of social control). 

Sosiologi menggambarkan bahwa pada masyarakat yang sederhana maupun yang kompleks senantiasa terdapat kecenderungan untuk timbulnya proses, pengaturan, atau pola-pola pengendalian tertentu yang formal maupun yang tidak formal. 

Selain dari itu sosiologi melihat negara juga sebagai salah satu asosiasi dalam masyarakat dan memerhatikan bagaimana sifat dan kegiatan anggota asosiasi itu memengaruhi sifat dan kegiatan negara. 

Jadi, ilmu politik dan sosiologi sama dalam pandangannya bahwa negara dapat dianggap baik sebagai asosiasi (kalau melihat manusia) maupun sebagai sistem pengendalian (system of controls). Hanya saja bagi ilmu politik negara merupakan obyek penelitian pokok, sedangkan dalam sosiologi negara hanya merupakan salah satu dari banyak asosiasi dan lembaga pengendalian dalam masyarakat. 

Buku yang memakai pendekatan sosiologi ialah Web of Government (Jaring Pemerintahan) karangan Robert M. MacIver. Akan tetapi khusus mengenai studi tentang partai politik, sosiologi, dan ilmu politik dapat ditemukan dalam buku karangan Giovanni Sartori, Parties and Party Systems. 

2. Antropologi 

Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lain

Apabila jasa sosiologi terhadap perkembangan ilmu politik adalah terutama dalam memberikan analisis terhadap kehidupan sosial secara umum dan menyeluruh, maka antropologi menyumbang pengertian dan teori tentang kedudukan serta peran berbagai satuan sosial-budaya yang lebih kecil dan sederhana. 

Mula-mula antropologi lebih banyak memusatkan perhatian pada masyarakat dan kebudayaan di desa-desa dan di pedalaman, sedangkan sosiologi lebih memusatkan perhatian pada kehidupan masyarakat kota yang jauh lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan teknologi modern. 

Lambat laun antropologi dan sosiologi saling memengaruhi baik dalam obyek penelitian maupun dalam pembinaan teori, sehingga pada saat ini batas antara kedua ilmu sosial tadi telah menjadi kabur. Perhatian sarjana ilmu politik terhadap antropologi makin meningkat sejalan dengan bertambahnya perhatian dan penelitian tentang kehidupan serta usaha modernisasi politik di negara-negara baru.

Mula-mula penelitian tentang negara-negara baru berkisar pada masalah-masalah yang bersifat makro seperti pengaruh kolonialisme, perjuangan kemerdekaan, kedudukan dan peran elit nasional, masalah-masalah yang dihadapi pemerintah pusat negara-negara baru, nation­building, dan sebagainya. 

Semua ini didasarkan pada anggapan bahwa masalah daerah, terpencarnya berbagai bentuk desa di pedalaman, perbedaan suku bangsa dan agama pada akhirnya akan dapat diatasi oleh perkembangan kehidupan tingkat nasional.

Antropologi justru menunjukkan betapa rumit dan sukarnya membina kehidupan yang bercorak nasional dari komunitas yang tradisional; betapa kebudayaan daerah, sistem warisan harta kekayaan, serta pola-pola kehidupan tradisional lainnya mempunyai daya tahan yang kuat terhadap usaha-usaha pembinaan kehidupan corak nasional tersebut.

Betapa dalam beberapa situasi faktor-faktor sosial budaya tersebut malahan menjadi lebih kuat dan lebih sadar melakukan perlawanan terhadap usaha-usaha nation building, apalagi jika ciri-ciri serta sifat-sifatnya tidak lebih dahulu diperhitungkan dengan saksama. 

Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang masingmasing mempunyai daerah asal dan kebudayaannya sendiri, yang telah berakar sejak berpuluh-puluh tahun yang silam. 

Bagi seorang sarjana ilmu politik, kesadaran akan kenyataan ini memungkinkannya untuk melaksanakan beberapa penelitian yang khusus, seperti: besar-kecilnya pengaruh pemikiran dan pergerakan politik di berbagai daerah yang berbeda suku, agama serta kehidupan sistem sosialnya (faktor-faktor perasaan ikatan primordial dalam kehidupan politik Indonesia). 

Sampai di mana pengertian dan kesadaran berbangsa Indonesia terdesak atau dibatasi oleh pola-pola kesetiaan suku dan kebudayaan setempat; pengaruh komposisi golongan penduduk di suatu daerah atau kota tertentu terhadap corak dan gaya kehidupan politik di masing-masing tempat.

Sifat serta ciri-ciri khusus apa yang dimiliki suatu suku bangsa tertentu yang memudahkannya untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan kehidupan modern; dan masih banyak lagi judul-judul penelitian yang dapat digarap. 

Kecuali pengaruhnya di bidang teori, khususnya dalam menunjukkan perbedaan struktur sosial serta pola kebudayaan yang berbeda-beda pada tiap komunitas, antropologi telah juga berpengaruh dalam bidang metodologi penelitian ilmu politik. 

Salah satu pengaruh yang amat berguna dan terkenal serta yang kini sering dipakai dalam penelitian ilmu politik ialah metode peserta pengamat (participant observer). Cara penelitian semacam ini, memaksa sarjana ilmu politik untuk meneliti gejala-gejala kehidupan sosial ”dari dalam” masyarakat yang menjadi obyek penelitiannya. 

Dengan hasil yang diperoleh dari praktik kerja semacam ini, sarjana ilmu politik dapat mengembangkan pembinaan teori atas dasar kenyataan yang konkret baik yang dialami maupun yang diamati sendiri.

3. Ilmu Ekonomi

Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lain

Pada masa silam ilmu politik dan ilmu ekonomi merupakan bidang ilmu tersendiri yang dikenal sebagai ekonomi politik (political economy), yaitu pemikiran dan analisis kebijakan yang hendak digunakan untuk memajukan kekuatan dan kesejahteraan negara Inggris dalam menghadapi saingansaingannya seperti Portugis, Spanyol, Prancis, dan Jerman, pada abad ke18 dan ke-19. 

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu tersebut kemudian memisahkan diri menjadi dua lapangan yang mengkhususkan perhatian terhadap perilaku manusia yang berbeda-beda: ilmu politik (political science) dan ilmu ekonomi (economics). 

Ilmu ekonomi modern dewasa ini sudah menjadi salah satu cabang ilmu sosial yang memiliki teori, ruang lingkup serta metodologi yang relatif ketat dan terperinci. Oleh karena sifatnya yang ketat ini, ilmu ekonomi termasuk ilmu sosial yang sering digunakan untuk menyusun perhitunganperhitungan ke depan. 

Para sarjana ekonomi sedikit banyak sepakat akan penggunaan istilah serta pengertian dasar yang diperlukan untuk mencapai keseragaman analisis. Hal ini memudahkan mereka bertukar pikiran tentang tujuan umum ilmu ekonomi, yaitu usaha manusia untuk mengembangkan serta membagi sumber-sumber yang langka untuk kelangsungan hidupnya. 

Pemikiran yang berpangkal tolak dari faktor kelangkaan (scarcity) menyebabkan ilmu ekonomi berorientasi kuat terhadap kebijakan yang rasional, khususnya penentuan hubungan antara tujuan dan cara mencapai tujuan yang telah ditentukan. 

Oleh karena itu ilmu ekonomi dikenal sebagai ilmu sosial yang sangat planning­oriented; pengaruhnya meluas pada ilmu politik seperti misalnya pengertian pembangunan ekonomi (economic development) yang telah memengaruhi pengertian pembangunan politik (political development). 

Oleh karena pilihan tentang kebijakan yang harus ditempuh sering kali terbatas adanya, maka ilmu ekonomi dikenal pula sebagai ilmu sosial yang bersifat choice­oriented, hal mana telah berpengaruh pada pengkhususan penelitian mengenai decision­making dalam ilmu politik modern. 

Akhirnya pemikiran yang berpangkal tolak dari faktor kelangkaan telah memaksa ilmu ekonomi untuk lebih banyak berikhtiar ke arah ramalan (prediction) berdasarkan perhitungan yang saksama, sehingga ilmu ekonomi modern jarang bersifat spekulatif. 

Ikhtiar menyusun ramalan ini berpengaruh pada sebagian sarjana ilmu politik untuk mendasarkan teori dan metodologinya pada suatu pendekatan yang lebih ilmiah, yang terkenal dengan pendekatan tingkah laku (behavioral approach). 

Dalam mengajukan kebijakan atau siasat ekonomi tertentu, seorang sarjana ekonomi dapat bertanya kepada seorang sarjana ilmu politik tentang politik manakah kiranya yang paling baik disusun guna mencapai tujuan ekonomi tertentu. 

Dalam mengajukan kebijakan untuk memperbesar produksi nasional misalnya, sarjana ilmu politik dapat ditanya tentang caracara mengurangi hambatan politis yang mengganggu usaha ke arah tujuan itu. Pembangunan Lima Tahun di Indonesia di masa lalu memperhitungkan pula perkembangan sosial dan politik yang mungkin terjadi akibat pergeseran ekonomis yang timbul dari berhasil atau gagalnya kebijakan tertentu.

Sebaliknya seorang sarjana ilmu politik dapat meminta bantuan sarjana ekonomi tentang syarat-syarat ekonomis yang harus dipenuhi guna mencapai tujuan politis tertentu, khususnya yang menyangkut pembinaan kehidupan demokrasi. 

Dengan pesatnya perkembangan ilmu ekonomi modern, khususnya ekonomi internasional, kerja sama antara ilmu politik dan ilmu ekonomi makin dibutuhkan untuk menganalisis siasat-siasat pembangunan nasional. 

Seorang sarjana ilmu politik tidak dapat lagi mengabaikan pengaruh dan peran perdagangan luar negeri, bantuan luar negeri, serta hubungan ekonomi luar negeri pada umumnya terhadap usaha-usaha pembangunan dalam negeri. 

Akhir-akhir ini ilmu ekonomi malahan telah menghasilkan suatu bidang ilmu politik yang baru. Ini dinamakan pendekatan perilaku rasional (rational choice) yang lebih cenderung melihat manusia sebagai makhluk ekonomi (economic creature). 

Dianggap bahwa manusia dalam mengambil suatu keputusan selalu memperhitungkan untung rugi baginya secara ekonomis. 

4. Psikologi Sosial 

Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lain

Psikologi sosial adalah pengkhususan psikologi yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dan masyarakat, khususnya faktor-faktor yang mendorong manusia untuk berperan dalam ikatan kelompok atau golongan. 

Jika sosiolog mempelajari kegiatan kehidupan sosial, bidang psikologi umumnya memusatkan perhatian pada kehidupan perorangan. Psikologi sosial berusaha untuk menyusun kerangka analisis yang dapat menghubungkan kedua bidang tersebut. 

Kegunaan psikologi sosial dalam analisis ilmu politik jelas dapat kita ketahui apabila kita sadar bahwa analisis sosial politik secara makro diisi dan diperkuat dengan analisis yang bersifat mikro. Psikologi sosial mengamati kegiatan manusia dari segi ekstern (lingkungan sosial, isik, peristiwa-peristiwa, dan gerakan massa) maupun dari segi intern (kesehatan isik perorangan, semangat, dan emosi). 

Dengan menggunakan kedua macam analisis ini, ilmu politik dapat menganalisis secara lebih mendalam makna dan peran orang kuat, kondisi sosial ekonomi serta ciri-ciri kepribadian yang memungkinkannya memainkan peran besar itu. 

Ia menjelaskan bagaimana teknik brainwashing dalam propaganda dan indoktrinasi politik serta faktor-faktor yang membangkitkan berkembangnya pemimpin kharismatis memengaruhi proses politik pada umumnya. 

Psikologi sosial juga dapat menjelaskan bagaimana kepemimpinan tidak resmi (informal leadership) turut menentukan hasil suatu keputusan dalam kebijakan politik dan kenegaraan; bagaimana sikap (attitude) dan harapan (expectation) masyarakat dapat melahirkan tindakan serta tingkah laku yang berpegang teguh pada tuntutan-tuntutan sosial (conformity).

Bagaimana motivasi untuk kerja dapat ditingkatkan sehingga memperbanyak produksi kerja melalui penanaman penghargaan terhadap waktu dan usaha; betapa nilai-nilai budaya yang telah bertahun-tahun lamanya diterima oleh masyarakat dapat melahirkan tingkah laku politik yang relatif stabil (budaya politik atau political culture) yang memberi dorongan kuat pada ketaatan terhadap aturan permainan rules of the game. 

Selain memberi pandangan baru dalam penelitian tentang kepemimpinan, psikologi sosial dapat pula menerangkan sikap dan reaksi kelompok terhadap keadaan yang dianggapnya baru, asing ataupun berlawanan dengan konsensus masyarakat, mengenai suatu gejala sosial tertentu. 

Psikologi sosial menjeIaskan pula kondisi-kondisi apa yang akhirnya dapat meredakan sikap dan reaksi masyarakat terhadap gejala baru yang dihadapinya itu.

5. Geografi

Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lain
Faktor-faktor yang berdasarkan geograi, seperti perbatasan strategis (strategic frontiers), desakan penduduk (population pressure), daerah pengaruh (sphere of inluence) memengaruhi politik. Montesquieu, seorang sarjana Prancis, untuk pertama kali membahas bagaimana faktor-faktor geograi memengaruhi konstelasi politik suatu negara. 

Dalam masa sebelum Perang Dunia II, suatu cabang geograi mendapat perhatian besar, yaitu Geopolitik atau Geopolitics, yang biasanya dihubungkan dengan seorang Swedia bernama Rudolf Kiellen (184-1933). 

Ia menganggap bahwa di samping faktor ekonomi dan antropologi, geograi memengaruhi karakter dan kehidupan nasional dari rakyat dan karena itu mutlak harus diperhitungkan dalam menyusun politik luar negeri dan politik nasional. 

Dengan kekalahan Nazi Jerman yang banyak memakai argumentasi berdasarkan geopolitik (seperti faktor ras, Lebensraum, faktor ekonomi dan sosial) untuk politik ekspansinya, geopolitik mengalami perkembangan. 

Di Indonesia fakta bahwa kita terdiri dari 17.000 pulau sehingga kita dinamakan archipelago­state, mempunyai akibat besar bagi eksistensi kita. Misalnya garis pantai yang harus dijaga terhadap penangkapan ikan ilegal dan untuk memelihara keamanan terhadap negara lain.

6. Ilmu Hukum

Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lain

Terutama di negara-negara Benua Eropa, ilmu hukum sejak dulu kala erat hubungannya dengan ilmu politik, karena mengatur dan melaksanakan undang-undang (law enforcement) merupakan salah satu kewajiban negara yang penting. 

Cabang-cabang ilmu hukum yang khususnya meneropong negara ialah hukum tata-negara (Staatsrecht, public law) dan ilmu negara (Staatslehre, general theory of the state). Analisis mengenai hukum serta hubungannya dengan negara mulai dikembangkan dalam abad ke-19, tetapi pada taraf itu terbatas pada penelitian mengenai negara-negara Barat saja. 

Sarjana hukum melihat negara sebagai lembaga atau instituta, dan menganggapnya sebagai organisasi hukum yang mengatur hak dan kewajiban manusia. Fungsi negara ialah menyelenggarakan penertiban, tetapi oleh ilmu hukum penertiban ini dipandang semata-mata sebagai tata hukum. 

Manusia dilihat sebagai makhluk yang menjadi obyek dari sistem hukum, dan dianggap sebagai pemegang hak dan kewajiban politik semata-mata. Ilmu hukum tidak melihat manusia sebagai makhluk yang terpengaruh oleh faktor sosial, psikologi, dan kebudayaan. 

Akibatnya ialah bahwa ada kecenderungan pada ilmu hukum untuk meremehkan kekuatan-kekuatan sosial dan kekuatan-kekuatan lainnya yang berada di luar bidang hukum. 

Kalau seorang ahli hukum melihat negara semata-mata sebagai lembaga atau organisasi hukum, maka seorang ahli ilmu politik lebih cenderung untuk, di samping menganggap negara sebagai system of controls, memandang negara sebagai suatu asosiasi, atau sekelompok manusia yang bertindak untuk mencapai beberapa tujuan bersama. 

Dalam masyarakat terdapat banyak asosiasi, tetapi perbedaan antara negara dan asosiasi lainnya ialah bahwa negara mempunyai wewenang untuk mengendalikan masyarakat (agent of social control) memakai kekerasan fisik. 

Selain itu ilmu hukum sifatnya normatif dan selalu mencoba mencari unsur keadilan. Aliran ini kuat sekali dalam kupasan-kupasan mengenai Negara Hukum (Rechtsstaat), yang menekankan bahwa perasaan keadilan (sense of justice) merupakan basis dari seluruh sistem norma yang mendasari negara. 

Sistem hukum adalah dasar legal dari negara; seluruh struktur dan fungsi negara ditetapkan oleh hukum. Aliran yang meneliti negara dari sudut hukum semata-mata dipelopori oleh Paul Laband (1838-1918) dari Jerman; kemudian aliran ini diteruskan oleh sarjana Austria, Hans Kelsen, pendiri Mazhab Wina. 

Hans Kelsen yang mengemukakan pandangan yuridis yang paling ekstrem menyamakan negara dengan tata hukum nasional (national legal order) dan berpendapat bahwa masalah kenegaraan harus diselesaikan dengan cara normatif. 

Ia menolak memperhitungkan faktor sosiologis oleh karena mengaburkan analisis yuridis. Ia memperjuangkan suatu teori hukum yang murni (Reine Rechtslehre), yaitu teori mengenai pembentukan dan perkembangan hukum secara formal terlepas dari isi materiil atau idiil norma-norma hukum yang bersangkutan. 

Hans Kelsen menganggap negara sebagai suatu badan hukum atau Rechtspersoon (juristic person), seperti misalnya suatu Perseroan Terbatas (PT). Dalam deinisi Hans Kelsen suatu badan hukum adalah: ”Sekelompok orang yang oleh hukum diperlakukan sebagai suatu kesatuan, yaitu sebagai suatu pribadi (persoon) yang mempunyai hak dan kewajiban.”

Misalnya saja suatu badan hukum boleh mempunyai, menjual atau membeli rumah, boleh menghadapkan pihak lain ke muka hakim, dan pada gilirannya ia dapat dihadapkan ke muka hakim oleh pihak lain. 

Perbedaan antara negara sebagai badan hukum dan badan-badan hukum lainnya ialah bahwa negara adalah badan hukum tertinggi yang mempunyai sifat mengatur dan menertibkan. 

Ini berarti bahwa tata tertib yang diselenggarakan olehnya bersifat normatif yakni sesuai dengan aturanaturan dan norma-norma yang telah ditetapkan sebagai patokan. Di samping pandangan yang ekstrem yuridis ada juga sarjana hukum yang tidak apriori menolak faktor-faktor sosial. 

George Jellinek (1815-1911) yang sering disebut Bapak Ilmu Negara juga mendasarkan pandangannya atas dasar yuridis, tetapi di samping itu dia memandang perlu bahasan sosiologis. Ia mengemukakan teori Dua Sisi (Zweiseiten Theorie) yaitu bahwa negara perlu dibahas dari dua sudut: 

  • Sudut Yuridis (Allgemeine Staatsrechtslehre) 
  • Sudut Kemasyarakatan (Allgemeine Soziale Staatslehre) 

Sudut kemasyarakatan ini oleh Jellinek tidak begitu diperkembangkan. Lagi pula pada masa itu (akhir abad ke-19) sosiologi masih sangat muda usianya dan pengaruhnya atas ilmu-ilmu pengetahuan lainnya masih sangat terbatas. 

Seorang tokoh ilmu negara yang lebih modern ialah Hermann Heller (Mazhab Berlin) yang kemudian sangat terpengaruh oleh aliran ikiran Anglo-Saxon, mengecam bahasan yang ekstrem yuridis dari Kelsen dan menamakannya Ilmu Negara tanpa negara (Staatslehre ohne Staat). 

Ia sendiri sangat mementingkan bahasan yang realistis dan menganggap negara sebagai organisasi kekuasaan. 

Seperti telah dikemukakan di atas, pandangan yang ekstrem yuridis terlalu sempit dan kurang memuaskan untuk menganalisis negara, teristimewa negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena mendasarkan pandangannya atas suatu masyarakat yang sudah teratur, yang homogen sifatnya dan yang sudah berjalan beberapa lama. 

Hanya dalam masyarakat yang tidak ada perbedaan yang mencolok antara golongan-golongan dan kelas-kelas sosial di bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan, seperti di negara-negara Eropa Barat pada masa sebelum Perang Dunia II, dapat timbul anggapan bahwa negara merupakan penjelmaan dari suatu orde yang semata-mata bersifat hukum. 

Mengenai perbedaan antara ilmu politik dan ilmu negara, ada bermacam-macam pendapat. Hermann Heller telah menyimpulkan berbagai pendapat dalam Encyclopaedia of the Social Sciences: 

  1. Ada sarjana yang menganggap ilmu politik sebagai suatu ilmu pengetahuan yang praktis, yang ingin membahas keadaan sesuai kenyataan (realistic), sedangkan ilmu negara dinamakan ilmu pengetahuan yang teoritis yang sangat mementingkan segi normatif (normatif berarti memenuhi norma-norma dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan). Menurut Hermann Heller, perbedaan ini hanya perbedaan tekanan saja, sebab ilmu politik tidak dapat menjauhkan diri dari teori, tetapi juga memerhatikan segi normatif, sekalipun tidak sedalam ilmu negara. 
  2. Ada golongan sarjana yang menganggap bahwa ilmu politik mementingkan sifat-sifat dinamis dari negara, yaitu proses-proses kegiatan dan aktivitas negara; perubahan negara yang terus-menerus yang disebabkan oleh golongan-golongan yang memperjuangkan kekuasaan. Subyek ilmu politik ialah gerakan dan kekuatan di belakang evolusi yang terus-menerus itu. Sebaliknya, oleh sarjana-sarjana ini ilmu negara dianggap lebih mementingkan segi-segi statis dari negara, seolaholah negara adalah beku dan membatasi diri pada penelitian lembaga kenegaraan yang resmi. 
  3. Dianggap bahwa ilmu negara lebih tajam konsep-konsepnya dan lebih terang metodologinya, tetapi ilmu politik dianggap lebih konkret dan lebih mendekati realitas. 
  4. Perbedaan yang praktis ialah bahwa ilmu negara lebih mendapat perhatian dari ahli hukum, sedangkan ahli sejarah dan ahli sosiologi lebih tertarik kepada ilmu politik.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lain"

close