Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

JUAL BELI DAGANG BENTUKNYA FORMAL

JUAL BELI DAGANG BENTUKNYA FORMAL

Perbedaan pokok antara jual beli biasa dengan jual beli dagang adalah bahwa dalam jual beli dagang pada umumnya dibuat secara tertulis. Bentuk tertulis ini kadang-kadang bentuknya sudah distandardisasi artinya bagi pihak yang posisi tawarnya (bargaining position) kuat, maka dialah yang akan menentukan syarat-syarat yang diinginkan. 

Sementara itu, pihak lainnya (partner usahanya) hanya menyetujui walaupun ia sadar hak-haknya mungkin tidak terlindungi, yang terlihat hanyalah kewajiban saja. Masalahnya akan lain apabila belum ada standar kontrak, maka para pihak dapat saling menentukan peryaratan yang diinginkan, dalam kondisi ini tentunya kedudukan para pihak adlah pararel. 

Tampaknya contoh kasus yang terakhir ini, barangkali dapat dilihat dalam jual bei biasa, sebagaimana yang dapat ditemui di dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Lihat Pasal 1457 dan Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 

Jika dicermati kedua Pasal tersebut di atas, tampak bahwa salah satu unsur yang terpenting di dalamnya adalah adanya kata sepakat di antara para pihak. Apa yang dimaksud dengan kata sepakat tersebut tidak lain adalah bahwa munculnya hak dan kewajiban adalah pada saat disetujuinya apa yang menjadi objek jual beli. 

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut oleh para ahli hukum perdata disebut juga sebagai asas konsensualisme. Asas ini tersimpul dai syaratsyarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 

Di samping itu, dalam hukum perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak (the freedom of contract). Adapun yang dimaksud dengan asas ini adalah bahwa para pihak bebas menentukan kehendak asal apa yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. 

Apa yang mereka tuangkan dalam perjanjian tersebut berlaku bagi mereka sebagai undang-undang, ketertuban umum dan kesusilaan. Apa yang mereka tuangkan dalam perjanjian tersebut berlaku bagi mereka sebagai undang-undang. Asas ini tersimpul dari Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 

Tampaknya asas konsensualisme tersebut tidak menimbulkan masalah dalam jual beli biasa, apalagi kalau dilakukan dengan sistem cash and carry dalam arti ada uang silakan angkat barang yang dikehendaki. 

Namun, masalahnya akan lain apabila transaksi yang dilaksanakan dalam partai besar dan kadang-kadang yang dijual contoh atau monster oleh pihak produsen. Agaknya sulit kalau hanya didasarkan pada kata sepakat semata-mata, tanpa disertai dengan bukti yang tertulis untuk itu. 

Kesulitan yang dimaksud adalah bila ada perselisihan artinya salah satu pihak tidak melakukan prestasinya, maka pihak yang menuntut haknya dilanggar, wajib untuk membuktikan kebenaran dalil atau dasar tuntutannya. (Lihat Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). 

Bagi pihak yang mempunyai bukti tertulis, tentunya pembuktian yang dimaksud tidaklah menjadi masalah, sebab ia dapat menunjukkan dalil-dalil yang dilanggar. Walaupun sebenarnya belum merupakan suau jaminan, bahwa dengan adanya bukti-bukti tertulis pihak yang mempunyai bukti pasti menang. 

Mengapa? Karena menurut hukum pembuktian, bukti tertulis bukanlah satu-satunya alat bukti, tetapi dapat dibuktikan dengan alat bukti lainnya, seperti sumah ataupun saksi. (lihat Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). 

Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang bisnis hal ini kurang menguntungkan karena terjadi pemborosan waktu (Wasting time). Bukankah dalam bisnis “waktu itu adalah uang” (time is money). 

Untuk itulah bagi pebisnis yang berasal dari negara-negara maju, sebelum menandatangani suatu kontrak dagang (sales contract) ia berkonsultasi lebih dahulu dengan penasehat hukum (legal advisor) untuk meminta pendapat hukum dengan suatu harapan risiko yuridis mungkin terjadi dari kontrak dapat ditekan sekecil mungkin. 

Bahkan, kadang-kadang untuk negosisasi bisnis besar didelegasikan kepada legal consultant-nya. Apa yang dilakukan oleh pebisnis asing kelihatannya oleh pihak importir maupun eksportir Indonesia telah mulai mengikuti jejak rekan bisnisnya dari luar negeri, yakni mengikutsertakan penasehat hukum dalam membuat kontrak. 

Hal ini terlihat bahwa sebelum ditandatanginya kontrak dagang, dipelajari terlebih dahulu oleh biro hukum dari perusahaan yang bersangkutan ataupun langsung diserahkan kepada penasehat hukum perusahaan untuk menganalisis kontrak yang akan ditandatangani. 

Oleh karena itu, apabila diteliti secara cermat isi sales contract tersebut, maka dapat dikemukankan, bahwa jual beli dagang adalah kombinasi antar jual beli biasa dengan pengangkutan barang. Hal ini berarti dalam transaksi tersebut, diperlukan dokumen paling tidak untuk pengangkutan. 

Masalah penggabungan dalam pengangkutan, peraturannya secara rinci dapata ditemui dalam Uniform Rules for a Combined Transport Document yang juga diterbitkan oleh International Chamber of Commerce, pada tahun 1975. 

Adapun yang dimaksud dengan kombinasi transportasi dirumuskan secara tegas di dalam rule 2 sub c sebagai berikut: 

Combined transport document (CT document) means a document evidencing a contract for the performance and/or procurement of performance of combined transport of goods and bearing on its face either the heading Negotiable Combined document issued subject to Univorm rules for a combined Transport Document (ICC Brochure Nomor 298) or the heading “NoNegotiable Combined transport document issued subject to Univorm Rules for a Combined transport document (ICC Brochure Nomor 298)” 

Penetapan dari ketentuan rule ini dapat dilihat dalam sales contract transaksi tersebut. Di dalam praktek adakalana ditemui klausul seperti: 

1. Document against Paymnet (D/P). Adapun yang dimaksud dengan klausal ini adalah bahwa pembayaran baru akan dilakukan apabila pihak lawan telah menyerahkan dokumen yang telah disepakati dalam kontrak. 

2. Document against Acceptence (D/A). Artinya pembayaran akan dilakukan bila dokumen telah diakseptasi oleh penjual dan pembeli akan menyerahkan surat-surat berharga tersebut, yakni di”uniform rules for The Collection OF Commercial paper” yang juga diterbitkan oleh International Chamber of Commerce. Dalam artikel 4 disebutkan bahwa: 

“in respect of a documentary remittance accompanied by a bill of exchange payable at future date, the remittance letter should state wheter the document are to realested to the drawee against acceptance (D/A) or against payment (D/P). in the absence of instruction, the documents will be realested only against payment. 

Mungkin timbul pertanyaan, dokumen-dokumen apa yang dibutuhkan dalam transaksi dagang tersebut? Dalam hal ini bergantung dari syarat-syarat (bedingen) yang telah disepakati oleh para pihak. Masalah ini erat sekali kaitannya dengan masalah tanggungjawab pengangkut, yakni sejak kapankah pengangkut dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pengirim? 

Sebagaimana dapat dimaklumi, dalam pengangkutan internasional seperti yang dapat ditemui dalam incoterm, terdapat beberapa klausul, seperti: free on Board (FOB) yang berarti pengangkut bertanggungjawab sejak barang berada di atas kapal.

Free alongside Ship (FAS) yang berarti tanggungjawab pengangkut sejak barang berada di samping kapal; Cost and Freight Insurance (CIF) yang berarti pihak penjual selain membayar biaya pengangkutan juga haus membayar premi asuransi terhadap barang yang dikirim. Jadi, jenis barang mana yang dikehendaki para pihak.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "JUAL BELI DAGANG BENTUKNYA FORMAL"

close