Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SEJARAH TATA HUKUM DI INDONESIA

SEJARAH TATA HUKUM DI INDONESIA

Sejarah dalam bahasa asing, misalnya bahasa Inggrisnya adalah history. Asal katanya, yaitu historiai dari bahasa Yunani yang artinya hasil penelitian. 

Dalam bahasa Latinnya adalah historis. Istilah ini menyebar luas menjadi historia (bahasa Spanyol), historie (bahasa Belanda), histoire (bahasa Prancis), dan storia (bahasa Italia). 

Adapun dalam bahasa Jermannya, semula dipergunakan istilah Geschichte, yang berasal dari kata geschehen, yang berarti sesuatu yang terjadi. Adapun istilah historie menyatakan kumpulan fakta kehidupan dan perkembangan manusia.

Dengan demikian, sejarah adalah suatu cerita dari kejadian masa lalu yang dikenal dengan sebutan legenda, kisah, hikayat, dan sebagainya yang kebenarannya belum tentu tanpa bukti-bukti sebagai hasil suatu penelitian. 

Di samping itu, sejarah dapat juga diartikan sebagai suatu pengungkapan dari kejadian-kejadian masa lalu. 

Menurut Soerjono Soekanto, sejarah adalah pencatatan yang bersifat deskriptif dan interpretative, mengenai kejadian-kejadian yang dialami oleh manusia pada masa-masa lampau, yang ada hubungannya dengan masa kini.

Apabila dilihat dari kegunaannya, sebagai pegangan dapat diartikan sejarah adalah suatu pencatatan dari kejadian-kejadian penting masa lalu yang perlu diketahui, diingat, dan dipahami oleh setiap orang atau suatu bangsa masa kini. 

Jadi, sejarah tata hukum Indonesia adalah suatu pencatatan dari kejadian-kejadian penting mengenai tata hukum Indonesia pada masa lalu yang perlu diketahui, diingat, dan dipahami oleh bangsa Indonesia. 

Sejarah tata hukum Indonesia terdiri atas sebelum tanggal 17 Agustus 1945 dan sesudah tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum tanggal 17 Agustus 1945 terdiri atas: 

  1. Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) (1602–1799). 
  2. Masa Besluiten Regerings (1814–1855). 
  3. Masa Regerings Reglement (1855–1926). 
  4. Masa Indische Staatsregeling (1926–1942). 
  5. Masa Jepang (Osamu Seirei) (1942–1945).

Adapun sesudah tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebagai berikut. 

  1. Masa 1945–1949 (18 Agustus 1945 – 26 Desember 1949). 
  2. Masa 1949–1950 (27 Desember 1949 – 16 Agustus 1950). 
  3. Masa 1950–1959 (17 Agustus 1950 – 4 Juli 1959). 
  4. Masa 1959–sekarang (5 Juli 1959–sekarang).

1. Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) (1602– 1799) 

SEJARAH TATA HUKUM DI INDONESIA

Sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada tahun 1596 di Indonesia hukum yang berlaku di daerah-daerah Indonesia pada umumnya adalah hukum yang tidak tertulis yang disebut hukum adat. 

Setelah orang-orang Belanda berada di Indonesia dengan mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602 dengan tujuan supaya tidak terjadi persaingan antarpara pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang-orang pribumi, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang besar di pasaran Eropa. 

Vereenigde Oostindische Compagnie dalam berdagang diberi hak istimewa oleh pemerintah Belanda yang disebut hak octrooi yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang. 

Dengan hak octrooi itu VOC melakukan ekspansi penjajahan di daerah kepulauan Nusantara, dan menanamkan penekanan dalam bidang perekonomian dengan memaksakan aturan hukumnya yang dibawa dari negeri asalnya untuk ditaati oleh orang-orang pribumi. 

Peraturan tersebut merupakan hukum positif orang Belanda di daerah perdagangan, yakni ketentuan-ketentuan hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal dagang. Ketentuan hukum tersebut sama dengan hukum Belanda kuno yang sebagian besar merupakan hukum disiplin. 

Sejak Gubernur Jenderal Pieter Both diberi wewenang untuk membuat peraturan yang diperlukan oleh VOC di daerah yang dikuasainya, maka setiap peraturan yang dibuat itu diumumkan berlakunya melalui  ”pelekat”. 

Kemudian pelekat itu dihimpun dan diumumkan dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi) pada tahun 1642. Statuta tersebut berlaku sebagai hukum positif baik orang-orang pribumi maupun orang pendatang dan sama kekuatan berlakunya dengan peraturan lain yang telah ada. 

Peraturan hukum yang dibuat oleh VOC, pada masa ini pun kaidah hukum adat Indonesia tetap dibiarkan berlaku bagi orang Bumiputra (pribumi). Akan tetapi, dalam berbagai hal VOC mencampuri peradilan adat dengan alasan-alasan, bahwa: 

  • sistem hukum pada hukum adat, tidak memadai untuk memaksakan rakyat menaati peraturan-peraturan; 
  • hukum adat ada kalanya tidak mampu menyelesaikan suatu perkara, karena persoalan alat-alat bukti; 
  • adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat bukan merupakan kejahatan, sedangkan menurut hukum positif merupakan tindak pidana yang harus diberikan suatu sanksi.

Salah satu contoh tentang campur tangan penjajah adalah diadakannya pakem cirebon sebagai pegangan bagi hakim peradilan adat, yang isinya antara lain memuat sistem hukuman, seperti pemukulan, cap bakar, dan dirantai. 

Pada zaman ini daerah Indonesia, misalnya Aceh sudah dikenal sistem penghukuman yang kejam seperti hukuman mati bagi seorang istri yang melakukan perzinaan, hukuman potong tangan bagi orang mencuri, hukuman menumbuk kepala dengan alu lesung bagi orang pembunuh tanpa hak. 

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa ketika VOC berkuasa, tata hukum yang berlaku adalah aturan-aturan yang berasal dari negeri Belanda dan aturan yang diciptakan oleh Gubernur Jenderal yang berkuasa di daerah kekuasaan VOC, serta aturan tidak tertulis maupun tertulis yang berlaku bagi orang-orang pribumi, yakni hukum adatnya masing masing. 

Pada tanggal 31 Desember 1799, pemerintah Belanda akhirnya membubarkan VOC karena banyak menanggung utang. 

2. Masa Besluiten Regerings (1814–1855) 

SEJARAH TATA HUKUM DI INDONESIA

Menurut Pasal 36 Nederlands Grondwet tahun 1814 (UUD Negeri Belanda 1814) menyatakan bahwa Raja yang berdaulat, secara mutlak mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan harta milik negara di bagian-bagian lain. 

Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan sebutan Algemene Verordening (Peraturan Pusat). 

Karena peraturan pusat itu dibuat oleh raja, maka dinamakan Koninklijk Besluit (besluit raja) yang pengundangannya dibuat oleh raja melalui Publicatie, yakni surat selebaran yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal. 

Dilihat dari isi Koninklijk Besluit itu mempunyai dua sifat tergantung dari kebutuhannya, yaitu: 

  1. Besluit sebagai tindakan eksekutif raja, misalnya ketetapan pengangkatan Gubernur Jenderal; 
  2. Besluit sebagai tindakan legislatif, yaitu mengatur misalnya berbentuk Algemene Verordening atau Algemene Maatregel Van Bestur (AMVB) di negeri Belanda. 

Dalam rangka melaksanakan pemerintahan di Nederlands Indie (Hindia Belanda), raja mengangkat Komisaris Jenderal yang terdiri atas Elout, Buyskes, dan Vander Capellen. 

Para Komisaris Jenderal itu tidak membuat peraturan baru untuk mengatur pemerintahannya, dan tetap memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris berkuasa di Indonesia, yakni mengenai landrente dan usaha pertanian dan susunan pengadilan buatan Raffles. 

Dalam bidang hukum peraturan yang berlaku bagi orang Belanda tidak mengalami perubahan, karena menunggu terwujudnya kodifikasi hukum yang direncanakan oleh pemerintah Belanda. Lembaga peradilan yang diperlakukan bagi orang pribumi tetap dipergunakan peradilan Inggris. 

Untuk memenuhi kekosongan kas negara Belanda sebagai akibat dari pendudukan Prancis tahun 1810–1814, Gubernur Jenderal Du Bus de Gesignes memperlakukan politik agraria dengan cara mempekerjakan para terpidana pribumi yang dikenal dengan dwangarbeid (kerja paksa) berdasarkan pada Staatsblad 1828 nomor 16, yang dibagi atas dua golongan, yaitu: 

  1. yang dipidana kerja rantai; 
  2. yang dipidana kerja paksa.

Dipidana kerja rantai, ditempatkan dalam suatu tuchtplaats dan akan dipekerjakan pada openbare werker di Batavia dan Surabaya. 

Adapun yang dipidana kerja paksa, baik yang diupah maupun tidak, ditempatkan dalam suatu werkplaats dan akan dipekerjakan pada landbouweta blissementen yang dibuat oleh Pemerintah. 

Pada tahun 1830 pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan hukum perdata. Pengundangan hukum yang sudah berhasil dikodifikasi itu baru dapat terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1838. Hal ini disebabkan terjadinya pemberontakan di bagian selatan Belanda pada bulan Agustus 1830. 

Selanjutnya, timbul pemikiran tentang pengkodifikasian hukum perdata bagi orang Belanda yang berada di Hindia Belanda. 

Untuk maksud itu pada tanggal 15 Agustus 1839 menteri jajahan di Belanda mengangkat Komisi undang-undang bagi Hindia Belanda yang terdiri atas Mr. Scholten van Oud Haarlem sebagai ketua, Mr. J. Schmither, dan Mr. J.F.H. van Nes sebagai anggota. 

Komisi ini dalam tugasnya dapat menyelesaikan beberapa peraturan yang kemudian oleh Mr. H.L. Wicher disempurnakan, yaitu: 

  1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP). 
  2. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan. 
  3. Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS)/Perdata (KUH Perdata). 
  4. Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
  5. Reglement op de Burgerlijke Rechts vordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata (AP).

Berdasarkan kenyataan sejarah di atas dapat dijelaskan bahwa tata hukum pada masa Besluiten Regerings (BR) terdiri atas peraturan tertulis yang dikodifikasikan, dan yang tidak dikodifikasi, serta peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi orang bukan golongan Eropa. 

3. Masa Regerings Reglement (1855–1926) 

SEJARAH TATA HUKUM DI INDONESIA

Di negeri Belanda terjadi perubahan Grondwet (UUD) pada tahun 1848 sebagai akibat dari pertentangan Staten General (Parlemen) dan Raja yang berakhir dengan kemenangan Parlemen dalam bidang mengelola kehidupan bernegara. Adanya perubahan Grondwet itu mengakibatkan juga terjadinya perubahan terhadap pemerintahan dan perundangundangan jajahan Belanda di Indonesia. 

Hal ini dicantumkannya Pasal 59 ayat (I), (II), dan (IV) Grondwet yang menyatakan bahwa ayat (I) raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia. 

Ayat (II) dan (IV) aturan tentang kebijaksanaan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur melalui undang-undang. 

Menurut ketentuan Pasal 59 ayat (I), (II), dan (IV) di atas, kekuasaan raja terhadap daerah jajahan menjadi berkurang. 

Peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan oleh raja dengan Koninklijk Besluit-nya, tetapi ditetapkan bersama oleh raja dengan parlemen, sehingga sistem pemerintahannya berubah dari monarki konstitusional menjadi monarki parlementer. 

Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dengan parlemen untuk mengatur pemerintahan daerah jajahan di Indonesia adalah Regerings Reglement. 

Regerings Reglement ini berbentuk undang-undang yang diundangkan melalui Staatsblad 1855 Nomor 2 yang isinya terdiri atas 130 pasal dan 8 bab dan mengatur tentang pemerintahan di Hindia Belanda, sehingga RR ini dianggap sebagai undang-undang dasar pemerintahan jajahan Belanda. 

Politik hukum pemerintahan Belanda yang mengatur tentang tata hukum dicantumkan dalam Pasal 75 RR dan asasnya sama sebagaimana termuat dalam Pasal 11 AB, yaitu dalam menyelesaikan perkara perdata hakim diperintahkan untuk menggunakan hukum perdata Eropa bagi golongan Eropa dan hukum perdata adat bagi orang bukan Eropa. 

Selanjutnya RR mengalami perubahan pada tahun 1920 pada pasal tertentu, sehingga dinamakan RR baru yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai tahun 1926. 

Golongan penduduk dalam Pasal 75 RR itu diubah dari dua golongan menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Indonesia (Pribumi). Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab-kitab hukum, yaitu sebagai berikut. 

  1. Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa melalui Staatsblad 1866 Nomor 55 sebagai hasil saduran dari Code Penal yang berlaku di Belanda pada waktu itu.
  2. Algemeen Politie Strafreglement sebagai tambahan kitab hukum pidana untuk golongan Eropa tahun 1872. 
  3. Kitab hukum pidana bagi orang bukan Eropa melalui Staatsblad 1872 Nomor 85 yang isinya hampir sama dengan Kitab hukum pidana Eropa tahun 1866. 
  4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa melalui Staatsblad 1872 Nomor 111. 
  5. Wetboek van Strafrecht diundangkan pada tahun 1915 dengan Staatsblad 1915 Nomor 732 di Hindia Belanda dalam suatu kodifikasi yang berlaku bagi semua golongan penduduk mulai tanggal 1 Januari 1918.

4. Masa Indische Staatsregeling (1926–1942) 

SEJARAH TATA HUKUM DI INDONESIA

Pada tanggal 23 Juni 1925 Regerings Reglement tersebut diubah menjadi Indische Staatsregeling (IS) atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang termuat dalam Staatsblad 1925 Nomor 415 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926. 

Pada masa berlakunya IS tata hukum yang berlaku di Hindia Belanda adalah pertama-tama yang tertulis dan yang tidak tertulis (hukum adat) dan sifatnya masih pluralistis khususnya hukum perdata. 

Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 131 IS yang juga menjelaskan bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka kemungkinan adanya usaha untuk unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk Hindia Belanda, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Pribumi yang ditetapkan dalam Pasal 163 IS. 

Tujuan pembagian golongan penduduk sebenarnya adalah untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan, yaitu sebagai berikut. 

1. Golongan Eropa sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS adalah hukum perdata, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK) yang diundangkan berlakunya tanggal 1 Mei 1848, dengan asas konkordansi. 

Adapun hukum pidana materiil, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) yang diundangkan berlakunya tanggal 1 Januari 1918 melalui Staatsblad 1915 Nomor 732, dan hukum acara yang dilaksanakan dalam proses pengadilan bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura diatur dalam Reglement op de Burgerlijke Rechts Vordering untuk proses perdata, dan Reglement op de Straf Vordering untuk proses perkara pidana, yang keduanya mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. Adapun susunan peradilan yang dipergunakan untuk golongan Eropa di Jawa dan Madura adalah 

  • Residentte Gerecht; 
  • Raad van Justitie; 
  • Hooggerechtshof.
Adapun acara peradilan di luar Jawa dan Madura diatur dalam Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) berdasarkan Staatsblad 1927 Nomor 227 untuk daerah hukumnya masing-masing. 

2. Bagi golongan Pribumi (Bumiputra). 

a. Hukum perdata adat dalam bentuk tidak tertulis, tetapi dengan adanya Pasal 131 ayat (6) IS kedudukan berlakunya hukum perdata adat itu tidak mutlak, dan dapat diganti dengan ordonansi jika dikehendaki oleh pemerintah Hindia Belanda. Keadaan demikian telah dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai ordonansi yang diberlakukan untuk semua golongan, yaitu: 
  • Staatsblad 1933 nomor 48 jo. Staatsblad 1939 Nomor 
  • tentang peraturan pembukuan kapal; 2) Staatsblad 1933 Nomor 108 tentang peraturan umum untuk perhimpunan koperasi; 3) Staatsblad 1938 Nomor 523 tentang ordonansi orang yang meminjamkan uang; 
  • Staatsblad 1938 Nomor 524 tentang ordonansi riba. 
 Adapun hukum yang berlaku bagi golongan pribumi, yaitu: 
  • Staatsblad 1927 Nomor 91 tentang koperasi pribumi; 
  • Staatsblad 1931 Nomor 53 tentang pengangkatan wali di Jawa dan Madura; 
  • Staatsblad 1933 Nomor 74 tentang perkawinan orang Kristen di Jawa, Minahasa, dan Ambon; 
  • Staatsblad 1933 Nomor 75 tentang pencatatan jiwa bagi orang Indonesia di Jawa, Madura, Minahasa, Amboina, Saparua, dan Banda; 
  • Staatsblad 1939 Nomor 569 tentang Maskapai Andil; 
  • Staatsblad 1939 Nomor 570 tentang Perhimpunan Pribumi. Semua Staatsblad di atas adalah ordonansi yang berkaitan dengan bidang hukum perdata.

5. Masa Jepang (Osamu Seirei)

Masa Jepang (Osamu Seirei)

Pada masa pemerintahan Jepang pelaksanaan tata pemerintahan di Indonesia berpedoman undang-undang yang disebut Gun seirei, melalui Osamu Seirei. 

Osamu Seirei itu mengatur segala hal yang diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan, melalui peraturan pelaksana yang disebut Osamu Kanrei. 

Peraturan Osamu Seirei berlaku secara umum. Osamu Kanrei sebagai peraturan pelaksana, isinya juga mengatur hal-hal yang diperlukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. 

Dalam bidang hukum, pemerintah Balatentara Jepang melalui Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942 pada Pasal 3 menyebutkan, semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui untuk sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer. 

Berdasarkan Pasal 3 Osamu seirei tersebut, jelaslah, bahwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum Balatentara Jepang datang ke Indonesia masih tetap berlaku. Dengan demikian, Pasal 131 IS sebagai pasal politik hukum dan pembagian golongan penghuni Indonesia menurut Pasal 163 IS masih tetap berlaku. 

Untuk golongan Eropa, Timur Asing Cina, dan Timur Asing bukan Cina yang tunduk secara sukarela kepada hukum perdata Eropa tetap berlaku baginya Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK) serta aturan-aturan hukum perdata Eropa yang tidak dikodifikasikan. 

Adapun bagi golongan Pribumi dan golongan Timur Asing bukan Cina yang tidak tunduk secara sukarela kepada hukum perdata Eropa tetap berlaku aturan-aturan hukum perdata adatnya. 

Selanjutnya, pemerintah Balatentara Jepang juga mengeluarkan Gun Seirei Nomor Istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944, memuat aturanaturan pidana yang umum dan aturan-aturan pidana yang khusus, sebagai pelengkap peraturan yang telah ada sebelumnya. 

Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur susunan lembaga peradilan yang terdiri atas:
  1. Tihoo Hooin, berasal dari landraad (Pengadilan Negeri); 
  2. Keizai Hooin, berasal dari landgerecht (Hakim Kepolisian); 
  3. Ken Hooin, berasal dari Regentschap Gerecht (Pengadilan Kabupaten); 
  4. Gun Hooin, berasal dari Districts Gerecht (Pengadilan Kewedanaan); 
  5. Kokyoo Kootoo Hooin, berasal dari Hof voor Islami etische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi); 
  6. Sooyoo Hooin, berasal dari Priesterraad (Rapat Agama); 
  7. Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri atas Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaan Pengadilan Negeri), berasal dari Paket voor de Landraden.
Adapun wewenang Raad van Justitie dialihkan kepada Tihoo Hooin dan Hooggereschtshof tidak disebut dalam undang-undang itu. 

Semua aturan hukum dan proses peradilannya selama zaman penjajahan Jepang berlaku sampai Indonesia merdeka. Selanjutnya sejarah tata hukum Indonesia sesudah tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebagai berikut. 

a. Masa Tahun 1945–1949 (18 Agustus 1945–26 Desember 1949) 

Setelah bangsa Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, saat itu bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan nasib sendiri, mengatur dan menyusun negaranya serta menetapkan tata hukumnya, sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang Dasar yang supel dan elastik dengan sebutan UndangUndang Dasar 1945. 

Bentuk tata hukum dan politik hukum yang akan berlaku masa itu dapat dilihat pada Pasal 1 dan 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 1 yang berbunyi: "segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini." 

Pasal 2: "semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini." 

Menurut ketentuan Pasal 1 dan 2 aturan peralihan itu dapat diketahui, bahwa semua peraturan dan lembaga yang telah ada dan berlaku pada zaman penjajahan Belanda maupun masa pemerintahan Balatentara Jepang, tetap diberlakukan dan difungsikan. 

Dengan demikian, tata hukum yang berlaku pada masa tahun 1945–1949 adalah semua peraturan yang telah ada dan pernah berlaku pada masa penjajahan Belanda maupun masa Jepang berkuasa dan produk-produk peraturan baru yang dihasilkan oleh pemerintah negara Republik Indonesia dari tahun 1945–1949. 

b. Masa Tahun 1949–1950 (27 Desember 1949–16 Agustus 1950) 

Setelah berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat, berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, berlakulah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), dan tata hukum yang berlaku pada waktu itu adalah tata hukum yang terdiri atas peraturan yang dinyatakan berlaku pada masa 1945–1949 dan produk peraturan baru yang dihasilkan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat selama kurun waktu 27 Desember 1949 sampai dengan 16 Agustus 1950. 

Hal tersebut telah ditentukan dalam Pasal 192 KRIS yang berbunyi: "Peraturan-peraturan, undang-undang, dan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RIS sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuanketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau atas kuasa konstitusi ini." 

Berdasarkan ketentuan Pasal 192 KRIS ini berarti aturan-aturan hukum yang berlaku dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal 1 dan 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tetap berlaku di Negara Republik Indonesia Serikat. 

c. Masa Tahun 1950–1959 (17 Agustus 1950 – 4 Juli 1959) 

Pada tanggal 17 Agustus 1950 bangsa Indonesia kembali ke negara kesatuan, dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku sampai tanggal 4 Juli 1959. 

Tata hukum yang berlaku pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari semua peraturan yang dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, dan ditambah dengan peraturan baru yang dibentuk oleh pemerintah negara selama kurun waktu dari 17–8–1950 sampai dengan 4–7–1959. 

d. Masa Tahun 1959–Sekarang (5 Juli 1959 sampai Sekarang) 

Setelah keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, UndangUndang Dasar Sementara (UUDS) 1950 tidak berlaku lagi, dan kembali berlaku Undang-Undang Dasar 1945 sampai sekarang. 

Tata hukum yang berlaku pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri atas semua peraturan yang berlaku pada masa tahun 1950–1959 dan yang dinyatakan masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 1 dan 2 aturan peralihan UUD 1945 dengan ditambah berbagai peraturan yang dibentuk setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut. 

Adapun tata urutan perundang-undangan yang diatur berdasarkan TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 jo. TAP MPR Nomor V/MPR/1973 dan TAP No. IX/MPR/1978, tata urutan perundang-undangan (hierarki perundang-undangan) adalah sebagai berikut: 
  • Undang-Undang Dasar 1945. 
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR). 
  • Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). 
  • Peraturan Pemerintah (PP). 
  • Keputusan Presiden. 
  • Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti: 
    • Peraturan Menteri; 
    • Instruksi Menteri; 
    • dan lain-lain. 
Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR No.III Tahun 2000, hierarkinya sebagai berikut. 
  • Undang-Undang Dasar 1945. 
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR). 
  • Undang-Undang.
  • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). 
  • Peraturan Pemerintah (PP). 
  • Keputusan Presiden. 
  • Peraturan Daerah (Perda). 
Dengan terbitnya TAP MPR No. III/MPR/2000 tersebut, TAP MPR No. XX/MPR/1966, dan TAP MPR No. IX/MPR/1978 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. 

Tata urutan tersebut mengandung konsekuensi bahwa peraturan perundang-undangan yang urutannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. 

Sedangkan hierarki peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tercantum di dalam Bab III Pasal 7 ayat (1), yaitu sebagai berikut. 

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: 
  • Undang-Undang Dasar 1945; 
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 
  • Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 
  • Peraturan Pemerintah; 
  • Peraturan Presiden; 
  • Peraturan Daerah Provinsi; dan
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan, TAP MPR Nomor III/MPR/2000, TAP MPR No. XX/ MPR/1966, dan TAP MPR No.IX/MP/1978 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, karena belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat tentang aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. 

Tata urutan perundang-undangan tersebut mengandung konsekuensi bahwa peraturan perundang-undangan yang urutannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 

Jika ada suatu peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya ada undang-undang yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 

Lebih lanjut dijelaskan bahwa, apabila ada peratutan perundangundangan di bawah undang-undang yang diduga bertentangan dengan undang-undang, seperti peraturan pemerintah (PP) bertentangan dengan undang-undang, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "SEJARAH TATA HUKUM DI INDONESIA"

close