Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tata Hukum Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) (1602– 1799)

Tata Hukum Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) (1602– 1799)

Sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada tahun 1596 di Indonesia hukum yang berlaku di daerah-daerah Indonesia pada umumnya adalah hukum yang tidak tertulis yang disebut hukum adat. 

Setelah orang-orang Belanda berada di Indonesia dengan mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602 dengan tujuan supaya tidak terjadi persaingan antarpara pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang-orang pribumi, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang besar di pasaran Eropa. 

Vereenigde Oostindische Compagnie dalam berdagang diberi hak istimewa oleh pemerintah Belanda yang disebut hak octrooi yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang. 

Dengan hak octrooi itu VOC melakukan ekspansi penjajahan di daerah kepulauan Nusantara, dan menanamkan penekanan dalam bidang perekonomian dengan memaksakan aturan hukumnya yang dibawa dari negeri asalnya untuk ditaati oleh orang-orang pribumi. 

Peraturan tersebut merupakan hukum positif orang Belanda di daerah perdagangan, yakni ketentuan-ketentuan hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal dagang. Ketentuan hukum tersebut sama dengan hukum Belanda kuno yang sebagian besar merupakan hukum disiplin. 

Sejak Gubernur Jenderal Pieter Both diberi wewenang untuk membuat peraturan yang diperlukan oleh VOC di daerah yang dikuasainya, maka setiap peraturan yang dibuat itu diumumkan berlakunya melalui ”pelekat”. 

Kemudian pelekat itu dihimpun dan diumumkan dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi) pada tahun 1642. Statuta tersebut berlaku sebagai hukum positif baik orang-orang pribumi maupun orang pendatang dan sama kekuatan berlakunya dengan peraturan lain yang telah ada. 

Peraturan hukum yang dibuat oleh VOC, pada masa ini pun kaidah hukum adat Indonesia tetap dibiarkan berlaku bagi orang Bumiputra (pribumi). Akan tetapi, dalam berbagai hal VOC mencampuri peradilan adat dengan alasan-alasan, bahwa:
  • sistem hukum pada hukum adat, tidak memadai untuk memaksakan rakyat menaati peraturan-peraturan; 
  • hukum adat ada kalanya tidak mampu menyelesaikan suatu perkara, karena persoalan alat-alat bukti; 
  • adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat bukan merupakan kejahatan, sedangkan menurut hukum positif merupakan tindak pidana yang harus diberikan suatu sanksi.
Salah satu contoh tentang campur tangan penjajah adalah diadakannya pakem cirebon sebagai pegangan bagi hakim peradilan adat, yang isinya antara lain memuat sistem hukuman, seperti pemukulan, cap bakar, dan dirantai. 

Pada zaman ini daerah Indonesia, misalnya Aceh sudah dikenal sistem penghukuman yang kejam seperti hukuman mati bagi seorang istri yang melakukan perzinaan, hukuman potong tangan bagi orang mencuri, hukuman menumbuk kepala dengan alu lesung bagi orang pembunuh tanpa hak. 

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa ketika VOC berkuasa, tata hukum yang berlaku adalah aturan-aturan yang berasal dari negeri Belanda dan aturan yang diciptakan oleh Gubernur Jenderal yang berkuasa di daerah kekuasaan VOC, serta aturan tidak tertulis maupun tertulis yang berlaku bagi orang-orang pribumi, yakni hukum adatnya masing masing. 

Pada tanggal 31 Desember 1799, pemerintah Belanda akhirnya membubarkan VOC karena banyak menanggung utang.
Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Tata Hukum Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) (1602– 1799)"

close