Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TUGAS DAN TUJUAN HUKUM

TUGAS DAN TUJUAN HUKUM

Hukum merupakan bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi sistem sosial ini adalah untuk mengintegrasikan kepentingan anggota masyarakat, sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib. 

Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah mencapai keadilan, yaitu keserasian antara nilai kepentingan hukum (rechtszekerheid). 

Tugas hukum ini merupakan konsepsi dwitunggal, yang biasanya terdapat dalam perumusan kaidah hukum, misalnya Pasal 338 KUHP, dengan rumusannya, "Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan ...," adalah memberikan nilai kepastian hukum. 

Dengan demikian, siapa saja yang menghilangkan jiwa orang lain, akan dihukum. Rumusan Pasal 338 KUHP selanjutnya bersambung dengan kalimat," ... dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun." 

Rumusan terakhir ini merupakan nilai kesebandingan hukum terhadap diri pribadi yang berperikelakuan. Jadi, setiap orang yang melakukan pembunuhan (menghilangkan jiwa orang lain), pidananya dapat saja bervariasi antara satu dengan yang lainnya. 

Perbedaan tersebut terjadi tergantung kepada berat ringannya kesalahan yang dilakukan. Di sinilah letaknya nilai kesebandingan hukum. 

Selanjutnya, jika hukum itu dipandang secara fungsional, ia terpanggil untuk melayani kebutuhan elementer bagi kelangsungan kehidupan sosial, misalnya mempertahankan kedamaian, menyelesaikan sengketa, meniadakan penyimpangan. 

Singkatnya hukum mempertahankan ketertiban dan melakukan kontrol. Dengan demikian, tujuan hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah menciptakan tata tertib di dalam masyarakat. 

Kemudian Surojo Wignjodipuro pernah mengatakan, bahwa tujuan hukum adalah menjamin kepastian dalam perhubungan kemasyarakatan. Hukum diperlukan untuk penghidupan di dalam masyarakat demi kebaikan dan ketenteraman bersama.

Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.

Demikian juga Soejono mengatakan, bahwa hukum yang diadakan atau dibentuk membawa misi tertentu, yaitu keinsafan masyarakat yang dituangkan dalam hukum sebagai sarana pengendali dan pengubah agar terciptanya kedamaian dan ketenteraman masyarakat.

Adapun Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menjelaskan, bahwa tujuan hukum adalah kedamaian hidup antarpribadi yang meliputi ketertiban ekstern antarpribadi dan ketenangan intern pribadi.

Konsepsi kedamaian berarti tidak ada gangguan ketertiban dan juga tidak ada kekangan terhadap kebebasan (maksudnya, ada ketenteraman atau ketenangan pribadi). Di dalam kehidupan bersama senantiasa menghendaki ketertiban. 

Sebaliknya manusia secara individu, menginginkan adanya kebebasan yang mengarah kepada ketenteraman atau ketenangan pribadi. 

Keadaan tenteram atau tenang dianggap ada, jika dirasakan tidak ada ancaman dari luar dan tidak ada konflik dalam diri pribadi. Berikut ini diturunkan suatu bagan yang menggambarkan tugas dan tujuan hukum.

TUGAS DAN TUJUAN HUKUM
Tugas hukum dan tujuan hukum
Berkaitan dengan tujuan hukum yang garis besarnya telah disebutkan di atas, di dalam literatur dikenal tiga teori tentang tujuan hukum tersebut, yaitu: 
  1. Teori Etis (ethische theori). 
  2. Teori Utilitis (utiliteis theori). 
  3. Teori Gabungan/Campuran (verenigings theori/gemengde theori). 
Teori Etis (ethische theori) memandang bahwa hukum ditempatkan pada perwujudan keadilan yang semaksimal mungkin dalam tata tertib masyarakat. Dalam arti kata, hukum semata-mata bertujuan keadilan. 

Menurut Hans Kelsen, bahwa suatu peraturan umum adalah “adil” jika benar-benar diterapkan kepada semua kasus yang menurut isinya, peraturan ini harus diterapkan. Suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan kepada suatu kasus dan tidak diterapkan kepada kasus lain yang sama.

Keadilan berarti pemeliharaan tata hukum positif melalui penerapannya yang benar-benar sesuai dengan jiwa dari tata hukum positif tersebut. Keadilan ini adalah keadilan berdasarkan hukum. 

Pernyataan bahwa perbuatan seseorang adalah adil atau “tidak adil” dalam arti “berdasarkan hukum” atau “tidak berdasarkan hukum”, berarti perbuatan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan suatu norma hukum yang dianggap valid oleh subjek yang menilainya karena norma ini termasuk ke dalam tata hukum positif. 

Masalah keadilan Aristoteles membedakan antara keadilan distributif dengan keadilan korektif atau remedial.

Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat. Yang dinilai adil di sini adalah jika setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, dan kemampuan. 

Di sini bukan kesamaan yang dituntut tetapi perimbangan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa Presiden ialah orang Indonesia asli. 

Ini tidak berarti setiap orang Indonesia asli dapat menjadi presiden, tetapi hanyalah orang Indonesia asli yang memenuhi syarat saja, ini pun masih harus diadakan pemilihan. 

Adapun keadilan korektif atau remedial (komutatif) adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa perseorangan. Dalam pergaulan di masyarakat keadilan remedial (komutatif) merupakan kewajiban setiap orang terhadap sesamanya. 

Dalam hal ini yang dituntut adalah kesamaan. Dengan demikian, adil apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukannya. Apabila keadilan distributif itu merupakan urusan pembentuk undangundang, maka keadilan remedial (komutatif) merupakan urusan hakim. 

Hakim memperhatikan hubungan perseorangan yang mempunyai kedudukan prosesuil yang sama tanpa membedakan orang (equality before the law). 

Teori Etis menurut L.J. Van Apeldoorn berat sebelah karena, melebih-lebihkan kadar keadilan hukum, sebab ia tidak cukup memperhatikan keadaan sebenarnya.

Hukum menetapkan peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam perumusan pasal dalam undangundang yang berbunyi, “barang siapa ...”. 

Ini berarti hukum itu bersifat menyamaratakan, dengan demikian setiap orang dianggap sama. Suatu tata hukum tanpa peraturan umum yang mengikat setiap orang tidak mungkin ada. 

Tidak adanya peraturan umum, berarti tidak ada ketentuan yang sungguh-sungguh mengenai apa yang disebut adil atau tidak adil. Ketidaktentuan inilah yang sering menimbulkan perselisihan antara warga masyarakat, dalam hal ini menyebabkan keadaan yang tidak tertib. 

Oleh karena itu, hukum harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan, sedangkan keadilan melarang menyamaratakan. Jadi, untuk memenuhi keadilan peristiwanya harus dilihat secara kasuistis. Dalam hal ini teori etis itu berat sebelah.

Selanjutnya, teori Utilitis (utiliteis theori) dari Jeremy Bentham berpendapat, bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan kepada manusia kebahagiaan yang sebesar-besarnya. 

Pandangan teori tersebut bercorak sepihak karena hukum barulah sesuai dengan daya guna atau bermanfaat dalam menghasilkan kebahagiaan, dan tidak memperhatikan keadilan. Padahal kebahagiaan itu tidak mungkin tercapai tanpa keadilan. 

Untuk menetapkan peraturan hukum tidak dapat hanya berlandaskan pada salah satu teori di atas, tetapi keduanya harus dipakai sehingga muncullah teori yang ketiga, yaitu teori gabungan atau campuran (verenigings theorie/gemengde theorie). 

Menurut teori ini tujuan hukum adalah bukan hanya keadilan semata, tetapi juga kemanfaatannya (kegunaannya). 

Di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea keempat disebutkan, bahwa tujuan hukum positif adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Berdasarkan tujuan hukum tersebut Soedjono Dirdjosisworo mengatakan bahwa tujuan hukum yang sebenar-benarnya adalah menghendaki kerukunan, dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. 

Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.18 Apa yang terkandung dalam pendapat para sarjana, maupun teori itu menunjukkan hukum dapat mencapai tujuannya jika terjadi keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan, atau keserasian antara kepastian yang bersifat umum (objektif) dan penerapan keadilan secara khusus yang bersifat subjektif.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "TUGAS DAN TUJUAN HUKUM"

close