Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perwakilan Politik Perempuan Dalam Feminasi Politik

Perwakilan Politik Perempuan Dalam Feminasi Politik

Lovenduski mengatakan bahwa Pembedaan dalam masalah-masalah perwakilan politik kurang jelas dibanding di bidang-bidang advokasi perempuan lain. Ini disebabkan oleh tatanan perwakilan politik yang berkembang melalui kompromi dan kesepakatan di mana ide-ide dan hak-hak saling tumpang tindih dan definisidefinisi asli dikaburkan. 

Pengaruh yang berbeda-beda dari kedua dasar feminism kadang-kadang dianggap tegas. Bagi banyak pengkritik, sikap kesetaraan menyarankan bahwa klaim-klaim perempuan untuk perwakilan politik, bila berhasil, akan mengubah mereka menjadi laki-laki politik. 

Sebaliknya, sikap perbedaan memuat akibat bahwa, dalam jumlah yang cukup, kehadiran para wakil perempuan akan mengubah praktek dan hakikat politik. Di satu pihak, sesuai dengan argumenargumen perbedaan para feminis menentang pemisahan antara kehidupan publik dan privat, sekurang-kurangnya dalam teori, yang merupakan batas antara politik dan kegiatan-kegiatan lain. 

Selanjutnya dapatlah dilihat bahwa dalam argumen yang pertama, perwakilan politik perempuan mengharuskan runtuhnya pemisahan antara yang publik dan yang privat, itu terjadi karena munculnya perubahan dalam kelembagaan. 

Sedangkan menurut argument yang kedua, klaim-klaim atas perwakilan perempuan dipenuhi oleh keterlibatan jumlah perempuan yang memadai dalam lembaga-lembaga yang sudah ada. Kehadiran yang melibatkan penerimaan akan peraturan permainan yang sudah ada, dituntut bila peraturan yang baru harus dibuat. 

Kesetaraan diperlukan bila perbedaan harus dikompensasi dan perbedaan harus diakui bila kesetaraan harus dicapai. Elizabeth Frazer mengemukakan bahwa:

Konsepsi gender, baik yang implisit maupun eksplisit, dalam pelbagai sistem pemikiran itu bukanlah unsur kebetulan, melainkan unsur yang penting, dan bukan pula unsur yang tidak bermakna. Seluruh analisis bersifat preskriptif (analisis itu mengemukakan gagasan sistematis tentang bagaimana masyarakat seharusnya diatur).Namun demikian, gagasan-gagasan itu merasuk, walaupun secara tidak sempurna, ke dalam konstitusi, sistem hukum, dan lembaga-lembaga sosial politik lainnya, serta ke dalam budaya popular dalam masyarakat.Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa gagasan-gasan itu bersifat konstitutif.

Untuk itu dalam membentuk teori politik feminis, seringkali fenomena sosial yang berada di luar wilayah kerja Negara dan lembaga politik konvensional harus dipertimbangkan. “cara hidup” dan “tradisi” merupakan hal yang sangat penting karena keduanya seringkali merugikan kepentingan perempuan. 

Secara khusus, nilainilai yang berada di pusat relasi seksual tradisional memiliki arti penting; dan bukan hanya nilai-nilai dan gagasan-gagasan, namun juga berbagai praktik-yakni cara-cara melakukan sesuatu yang diterima begitu saja. 

Kaum feminis telah telah memusatkan perhatian pada posisi perempuan dalam pasar kerja dan property, namun mereka melihat hal ini terkait dengan posisi perempuan di dalam “dunia domestik”. 

Elizabeth Frazer menunjukkan secara positif, bahwa teori politik feminis melibatkan pembuatan model dan penelitian empiris mengenai hubungan antar pelbagai peristiwa dan perubahan dalam pemerintahan Negara dan kebijakkan pemerintah, perubahan dalam hukum, dalam hubungan sosial. 

Dalam kaitannya dengan feminisasi politik, Lovenduski mengemukakan beberapa kendala yang menyebabkan kurangnya keterwakilan politik berjalan maju, meskipun banyak di antaranya masih diusahakan. 

Meskipun terdapat perbedaanperbedaan regional yang berarti, kurangnya perwakilan perempuan merupakan kenyataan hidup yang menghiasi semua jenis tatanan lembaga dan budaya. Sehingga kenyataan ini merupakan salah satu dari sedikit generalisasi yang aman dilakukan terkait dengan posisi perempuan. 

Perempuan mengalami tiga rintangan sosial utama untuk menjadi pelaku politik. Pertama sumber daya yang diperlukan untuk memasuki politik yang mereka miliki lebih lemah. Kedua, bermacam-macam kekangan gaya hidup mengakibatkan perempuan mempunyai sedikit waktu untuk politik. 

Keluarga dan kewajiban-kewajiban lain yang menuntut perhatian penuh secara khas dijalankan oleh perempuan mengurangi waktu mereka untuk kegiatan lain-lain. Ketiga, tugas politik dikategorikan sebagai tugas laki-laki, yang menghalangi kaum perempuan mengejar karier politik dan juga merintangi rekruitmen mereka yang tampil ke depan.

Selanjutnya Lovenduski hukum yang mengatur perekrutan hanya merupakan bagian dari proses, yang juga dipengaruhi oleh pelbagai institusi, yang menjalankan perekrutan. 

Lembaga-lembaga yang mempengaruhi tingkat dan hakikat perwakilan perempuan mencakup partai-partai politik, majelis-majelis terpilih, dan bermacammacam kelompok penekan dan gerakan-gerakan sosial, termasuk gerakan-gerakan perempuan. 

Untuk itu maka feminisasi partai-partai politik penting bagi keterwakilan perempuan. Partai-partai politik telah menjadi pengantar bagi kehadiran perempuan pada jabatan yang dipilih. Partai-partai politik melembagakan ide-ide mengenai politik yang mempunyai implikasi gender. 

Idiologi-ideologi partai merupakan dasar reputasi mereka yang berkelanjutan dan bersifat mendasar bagi kepercayaan para pemilih dan anggota. Sebagai lembaga, partai-partai mampu meneruskan cita-cita dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

Lembaga-lembaga sekaligus mampu menciptakan hasil-hasil politis dan melanjutkan sikap dan tingkah laku ke masa depan karena mereka dibentuk oleh identitas-identitas kaum laki-laki dan perempuan yang menjadi anggota-anggotanya. 

Namun dalam hal ini partai-partai politik berbeda satu sama lain dan bervariasi lintas waktu dalam hal bagaimana imbangan faktor-faktor persediaan dan permintaan mempengaruhi perempuan. Di dalam semua partai rintangan bagi seleksi perempuan dapat dijelaskan dengan seksisme institusional. 

Selain itu menjadi seorang kandidat merupakan proses yang mahal. Perempuan tidak hanya mempunyai sumber daya yang lebih sedikit untuk menutup biaya semuanya itu; mereka juga memasukkan tambahan biaya, dengan sumber dukungan yang lebih sedikit.

Selain faktor-faktor diatas yang merupakan kendala bagi perempuan dalam dunia politik, maka ada faktor-faktor yang timbul dari perempuan itu sendiri dalam hal ini disebut faktor internal (Nantri, 2004 dalam Sri Wahyuni & Hedwigis., 2009: 203), yang berpengaruh pada rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang politik sebagai berikut :

  1. Adanya anggapan di kalangan perempuan bahwa politik itu penuh kekerasan sehingga dipandang sebagai dunianya laki-laki, sehingga perempuan enggan berkecimpung di dalamnya. 
  2. Banyak perempuan tidak senang berorganisasi. 
  3. Perempuan kurang memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya bahkan perempuan sendiri kadang-kadang menenggelamkan dirinya dalam dunia domestik sibuk dalam tugas-tugas rumah tangga. 
  4. Perempuan sering kurang percaya diri, sehingga tidak siap mental dan psikologis untuk memasuki dan melaksanakan fungsi-fungsi jabatan sebagai perumus kebijakan maupun pengambil keputusan.

Penetapan strategi-strategi untuk meningkatkan perwakilan politik perempuan dalam demokrasi modern merupakan suatu proses di mana ide-ide mengenai keadilan dijadikan dasar bagi kesamaan politik. Prosesnya tidaklah harus linier dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka tertentu. 

Menurut Lovenduski secara luas, terdapat tiga strategi yang ada: retorika tentang kesamaan dan jaminan atau diskriminasi positif atas kesamaan. Retorika tentang kesamaan merupakan penerimaan publik terhadap klaim-klaim kaum perempuan. 

Namun selanjutnya ia mengatakan bahwa retoris belumlah cukup mempunyai kebijakan-kebijakan bagi sebuah perubahan. 

Promosi berkaitan dengan kesamaan mencoba membawa kaum perempuan ke dalam persaingan politik dengan menawarkan pelatihan khusus dan bantuan keuangan, dan menetapkan target-target bagi kehadiran perempuan dan tindakan-tindakan lain untuk memungkinkan kaum perempuan tampil ke depan. 

Jaminan jaminan kesamaan atau diskriminasi positif menghilangkan tuntutan bagi wakil-wakil perempuan. Dalam strategi-strategi seperti itu tempat-tempat disediakan secara khusus bagi perempuan dalam daftar pemilihan dan dalam badan-badan perwakilan. 

Kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan kehadiran kaum perempuan adalah bersifat permisif, suka rela atau harus dilakukan dan kebijakan-kebijakan itu dapat memberikan peluang-peluang atau jaminan-jaminan. 

Kebijakan-kebijakan yang bersifat permisif menyingkirkan rintanganrintangan formal bagi perwakilan perempuan seperti eksklusi-eksklusi secara legal. Kebijakan-kebijakan itu juga dapat menyingkirkan larangan-larangan mengenai penggunaan kebijakan-kebijakan sukarela atau keharusan. 

Kaum perempuan mendapat manfaat dari sistem daftar partai perwakilan proporsional karena pertama, partai-partai yang menampilkan daftar-daftar mempunyai insentif untuk menampilkan daftar kandidat yang secara sosial seimbang dengan para pemilih; hal itu menjadikan mereka “kelihatan” lebih refresentatif. 

Kedua, pengaruh-pengaruh pemegang jabatan sedikit lebih lemah, maka sedikit lebih banyak kekosongan yang dihasilakan. 

Ketiga, daftar partai membantu kuota karena memberikan lebih banyak kesempatan untuk melibatkan perempuan tanpa mengeksklusikan laki-laki, sementara dalam pemilihan beranggota tunggal di mana partai-partai dapat menominasi hanya satu kandidat partai-partai harus memilih antara perempuan dan laki-laki.

Kuota adalah contoh dari jaminan kesamaan. Bentuk yang digunakan kuota tergantung pada konteks institusional dan kultural yang pada akhirnya menentukan kuota itu sendiri. Sedangkan pelaksanaan kuota tergantung kepada pada peraturan-peraturan yang ada dalam diri partai itu sendiri. 

Tergantung pada sikap normatif dan kalkulasi-kalkulasi partai mengenai manfaat . Ketika kuota itu sendiri tidak dilaksanakan, maka yang akan terjadi adalah kuota menjadi jenis lain dari retorika kesetaraan, bagian dari proses tetapi belum menjadi sebuah solusi. 

Penggunaan kuota menunjukkan bentuk yang diambil terbatasi secara kelembagaan atau tergantung kepada cara. Ide-ide mengenai eksistensi perwakilan perempuan dalam politik memuat proses perjalanan dari pergerakan politik perempuan yang sudah sejak lama diperjuangkan. 

Bahkan kuota sebagai wadah yang memfasilitasi hak-hak perempuan dalam berpolitik adalah sebuah hasil yang memberikan kesempatan politik bagi perempuan itu sendiri.

Menyoroti gagasan tentang posisi perempuan dalam perwakilan politik di Indonesia, maka akan dilihat bagaimana posisi perempuan dalam bidang politik dalam persfektif hukum dan politik. Bagian ini tentunya akan memberikan wawasan politik yang berkenaan dengan poltik keterwakilan perempuan di Indonesia.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Perwakilan Politik Perempuan Dalam Feminasi Politik"

close