Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan dalam Perspektif Hukum dan Politik

Perempuan dalam Perspektif Hukum dan Politik

Dalam konteks Indonesia, perkembangan politik keterwakilan perempuan arahnya semakin jelas, itu dengan ditetapkannya UU yang mengatur kejelasan keterlibatan perempuan dalam kancah politik yang tertuang dalam UU No 2 Tahun 2008 dan UU No 10 Tahun 2008. 

1. Perspektif Hukum Dan Politik UU No 2 Tahun 2008

Tahun 2008 diawali dengan sebuah sejarah yang baru dalam keputusan Negara mengenai perpolitikan di negeri ini. Pada 4 januari 2008 diundangkannya Undang-undang partai politik dengan UU No 2 Tahun 2008 tentang partai politik melalui LN No 2 Tahun 2008. 

Berbagai hal diatur di dalam undang-undang sebelumnya, yakni UU No 31 Tahun 2002. Antara lain, pengaturan pembentukan Partai Politik; Ketentuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; Asas dan ciri Parpol, serta tujuan dan fungsinya. 

Salah satu hal mendasar dalam UU No 2 Tahun 2008, adalah syarat menjadi badan hukum atas suatu partai politik. Disyaratkan bahwa untuk menjadi suatu badan hukum, parpol harus memiliki kepengurusan, sedikitnya 60% dari jumlah propinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan. 

Sementara untuk kecamatan, harus memiliki kepengurusan setidaknya 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan. Syarat badan hukum dalam hal jumlah kepenguruan pada UU No 2 Tahun 2008 lebih diperketat, yakni sedikitnya memiliki 60% dari umlah propinsi. 

Pada UU No 31 Tahun 2002, hanya disyaratkan sedikitnya memiliki 50% dari jumlah provinsi. Untuk kepengurusan pada jumlah kabupaten/kota dan kecamatan, hal demikian tdak berbeda dengan UU No 31 Tahun 2008. 

Baik pada UU No 2008 maupun UU sebelumnya, syarat untuk menjadi badan hukum dari suatu partai politik, harus memiliki kepengurusan paling sedikit 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan. 

Ketentuan UU NO 2 Tahun 2008 juga menentukan, pengesahan Parpol menjadi badan hukum dilakukan dengan keputusan Mentri Hukum dan HAM, paling lama 15 hari sejak berakhirnya proses penelitan dan/verifikasi. 

Hal ini berbeda dengan UU No 32 Tahun 2002, karena UU selama ini menentukan pengesahan parpol sebagai badan hukum, dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, selambat-lambatnya 30 hari setelah penerimaan pendaftaran. 

Dalam masalah kesetaraan gender, diatur secara tegas dengan menentukam tindakan keperansertaan perempuan, berupaya sedikitnya 30% keterwakilan perempuan dalam suatu parpol. Begitu pula dengan jumlah kepengurusan perempuan sedikitnya 30% di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. 

Hal ini harus dinyatakan dalam AD dan ART suatu partai. Dari pinsip-prinsip yang terkandung UU No 2 Tahun 2008 ini diharapkan mampu mengeksistensikan setiap partai politik menjadi parpol yang tangguh.

Lebih mampu menjadi agen pembaruan sosial dan kehidupan politik yang sehat, baik secara internal maupun dalam peran eksternalnya di tengah bangsa Indonesia yang sedang menapaki langkah ke arah demokratisasi yang kuat.

2. Perspektif Hukum Dan Politik UU No 10 Tahun 2008

UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, merupakan penganti UU no 12 tahun 2003. 

UU No 12 tahun 2003 sebelumnya juga telah mengalami perubahan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 10 tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang. 

UU No 12 Tahun 2003 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan, dan dinamika demokrasi masyarakat, maka kemudian digantikan dengan UU No 10 Tahun 2008. Sebagaimana sebelumnya pada UU No 12 tahun 2003, dalam UU No 10 Tahun 2008 diatur berbagai hal mengenai Pemilu. 

Antara lain, mengenai asas, pelaksanaan dan lembaga penyelenggara Pemilu; Peserta dan Persyaratan mengikuti Pemilu; kemudian mengenai peraturan hak-hak untuk memilih. Kemudian diatur pula dalam UU No 10 Tahun 2008 ini mengenai jumlah kursi dan daerah pemilihan anggota DPR, Penyusun Daftar pemilih; dan bagaimana pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 

Dalam hal ini, sistem keterwakilan perempuan juga menjadi bagian dari UU No 10 Tahun 2008. Sistem keterwakilan politik perempuan dikaitkan dengan Affirmtive Actions, sebagai langkah solusi mengejar keterbelakangannya dari kaum pria. 

Selanjutnya di dalam UU ini diatur mengenai kampanye; pengaturan pemungutan suara, begitu pula perlengkapan mengenai pemungutan suara, begitu pula perlengkapan mengenai pemungutan suara, perhitungan suara, dan demikian penetapan hasil pemilu.

Selanjutnya mengenai penetapan perolehan kursi dan calon terpilih. Hal ini diatur mengenai pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang; begitu pula mengenai kemungkinan pemilu lanjutan dan pemilu susulan. 

Selain itu diatur pula dalam, undang-undang ini mengenai pemantauan Pemilu. Mengenai keterwakilan perempuan dalam UU No 10 Tahun 2008, terdapat kemajuan secara signifikan dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, yakni baik UU No 12 Tahun 2003 maupun UU No 31 tahun 2002 tentang Parpol. 

UU No 10 Tahun 2008 merupakan tindak lanjut dari sistem politik mengenai keterwakilan perempuan (dalam kepengurusan partai) sebagaimana ditentukan pada UU No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. 

Demikianlah dalam UU No 10 Tahun 2008, politik keterwakilan perempuan diteruskan dan diwujudkan dalam rangka pemilihan wakil-wakil rakyat, baik di tingkat pusat (parlemen) maupun di tingkat daerah (DPRD). UU NO 10 Tahun 2008 ini sangat penring artinya bagi realisasi politik keterwakilan perempuan (feminisasi politik). 

Karena meskipun sedemikian baiknya sistem keterwakilan perempuan dilaksanakan di tingkat parpol (pembentukan dan kepengurusan parpol), namun jika tidak diwujudkan dalam fase selanjutnya secara eksternal dalam bentuk pencalonan anggota legislatif, asas keterwakilan demikian adalah tidak bermakna apa-apa.

Maka UU No 10 Tahun 2008 menentukan, bahwa bagi setiap parpol, hanya bisa mengikuti atau menjadi peserta pemilu, haruslah memenuhi persyaratan, antara lain menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan. 

Tanpa dipenuhinya persyaratan keterwakilan perempuan oleh setiap partai, tidak akan diterima sebagai Parpol peserta Pemilu. Mengenai sistem keterwakilan perempuan menuut UU No 10 tahun 2008, dapat dilihat pada pasal 53 sampai pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. Pasal 53 mengatakan bahwa:
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Pasal 52 mengatur hal penyusunan bakal calon legislatif (caleg). Pasal 52 ini menentukan bahwa bakal caleg disusun dalam daftar bakal calon oleh parpol masingmasing (ayat 1): bakal caleg anggota DPRD ditetapkan oleh pengurus partaipolitik peserta pemilu tingkat pusat: bakal caleg anggota DPRD provinsi ditetapakan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi; dan bakal caleg anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai politik Pesera Pemilu tingkat Kabupatn/Kota. Nama-nama bakal caleg ini di susun berdasarkan no urut. Menurut Pasal 55 ayat (2) ditentukan secara tegas bahwa:

Di dalam daftar bakal calon sebagaimana imaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1(satu) orang perempuan bakal calon

Penentuan calon anggota legislatif perempuan sebanyak minimal 30 %, seperti disebutkan di atas, dilakukan melalui sistem Zipper System atau zig-zag. Caleg perempuan ditempatkan dalam daftar caleg dengan komposisi 1 diantara 3 nama, atau setiap 3 nama yang ada, terdapat 1 caleg perempuan. 

Penempatan ini tentunya dimulai dari nomor urut terkecil hingga nomor urut besar. Apa yang disebut Affirmative Action, telah dituangkan pada Pasal 53 sampai dengan pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. 

Affirmative Action, dimekanisme melalui ketentuan-ketentuan yang memungkinkan adanya semacam tindakan khusus kepada kaum perempuan dalam penentuan calon legislatif. 

Pasal 53s/d58 juga merupakan aplikasi secara nyata dari jiwa UU No 10 Tahun 2008 yang tidak bias gender, malahan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi semua golongan dan lapisan untuk memilih dan dipilih pada kesempatan pemilu yang ditentukan. 

Affirmative action adalah merupakan upaya jalan keluar dari permasalahan kaum perempuan atas ketertinggalannya. Affirmative Action dikatakan juga sebagai pengecualian demokrasi. Karena sifatnya kekecualian, maka tindakan khusus ini, terkadang disebut pula diskriminasi positif. 

Disebut diskriminasi positif, karena demi memperhatikan pemberdayaan kaum perempuan dalam politik, arti demokrasi dalam politik tersebut seakan menjadi tidak tampak, namun kebijakan khusus demikian masih dapat dinilai positif sebagai langkah mengatasi kesenjangan gender. 

Dilihat baik UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol maupun UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan rakyat daerah, merupakan instrument hukum yang revolusioner dalam kancah perpolitikan di Indonesia. 

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Perempuan dalam Perspektif Hukum dan Politik"

close